Gridhot.ID - Keluarga petinggi Negara Indonesia tak jarang mendapat sorotan dari masyarakat.
Bahkan tak jarang yang memiliki profesi mentereng di tengah publik.
Salah satunya seperti dilansir dari Grid.ID yaitu Widya Leksmanawati, nebabtu BJ habibie yang mengabdikan diri sebagai dokter TNI.
Selain itu, teryata Putri mantan Wapres Try Sutrisno (89) juga seorang dokter gigi.
Nama anak perempuan Wapres ke-6 RI periode 1993-1998 tersebut bernama drg Nora Tristyana MARS.
Nora Tristyana bukan orang sembarangan.
Melansir dari Wartakotalive.com, Selain seorang dokter gigi, dia adalah istri jenderal TNI bintang empat yang juga mantan Menteri Pertahanan.
Di samping itu, Nora Tristyana memiliki dua adik yang kini berpangkat jenderal juga dan berdinas di TNI AD dan Polri.
Berikut fakta-fakta Nora Tristyana
1. Putri Tertua Jenderal Try Sutrisno
Nora Tristyana adalah putri tertua pasangan Try Sutrisno-Tuti Sutiawati.
Nora memiliki dua adik laki-laki yang bernama Firman Santyabudi dan Kunto Arief Wibowo.
2. Istri Jenderal dan Mantan Menhan
Nora Tristyana adalah istri Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu.
Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu adalah Menteri Pertahanan (Menhan) era Presiden Joko Widodo (2014-2019) yang digantikan Letjen (Purn) Prabowo Subianto.
Meski suaminya tak lagi menjadi pejabat, drg Nora Ristyana MARS masih dipercaya sebagai Ketua Dewan Pengurus Korpri (DPK) Unit TNI AD Periode 2020-2024.
Hal tersebut menjadi hasil mufakat seluruh peserta Musyawarah Korpri Unit TNI AD yang diselenggarakan di Aula Graha Zeni Pusziad, Jakarta, Kamis (17/12/2020) lalu.
Nora Tristyana merupakan calon petahana, dimana sebelumnya ia telah mengabdi sebagai Ketua DPK Unit TNI AD di periode 2015-2019.
Masa jabatan Ketua DPK Unit TNI AD 2020-2024, merupakan periode kepemimpinannya yang kedua.
Informasi ini diperoleh Wartakota dari website resmi TNI AD.
3. 2 Kali Dapat Hadiah Sepeda dari Presiden Jokowi
Meski suaminya seorang pejabat negara, Nora Tristyana ternyata pernah mendapat hadiah sepeda dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Cerita soal hadiah itu berkaitan dengan penampilan Nora saat memakai pakaian adat Lampung ketikamenghadiri upacara HUT Kemerdekaan RI ke-74 di Istana Negara, Jakarta, Sabtu ( 17/8/2019).
Saat itu, penampilan Nora dianggap yang terbaik sehingga mendapat penghargaan kostum terbaik berupa sepeda dari Presiden Joko Widodo.
Seperti diberitakan Kompas.com, Nora mengaku menghabiskan waktu 3,5 jam untuk tampil dengan berbalut pakaian adat Lampung.
Kebaya yang ia kenakan berwarna putih, dipadu dengan mahkota bermotif siger lampung dan sejumlah aksesoris.
"Dandannya dari jam empat pagi, sampai setengah delapan," kata Nora ditemui usai upacara.
Nora ternyata sudah dua kali menerima hadiah sepeda dari Presiden Jokowi.
Sebelumnya, ia juga mendapat hadiah sepeda saat acara gathering kabinet kerja di Istana Bogor beberapa waktu lalu.
"Jadi sepasang, dapatnya pas, dan ada tulisan hadiah dari Bapak Jokowi," kata dia. Nora menggunakan sepeda hadiah dari Jokowi ini untuk berolahraga santai.
4. Adiknya Jenderal Polri
Dua adik Nora Tristyana adalah pria.
Keduanya kini telah berpangkat jenderal.
Satu jenderal polisi, satunya lagi jenderal TNI.
Adik pertamanya adalah Firman Santyabudi yang kini berpangkat jendral polisi bintang dua atau Inspektur Jenderal (Irjen).
Setelah menjadi Kapolda Jambi, Firman sekarang Asisten Logistik Kapolri.
Sementara sang adik kedua adalah Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo.
Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo sejak 9 April menjadi Kepala Staf Komando Daerah Militer III/Siliwangi.
Melansir dari Wikipedia, Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 15 Maret 1971.
Sementara Irjen Firman Santyabudi lahir 17 November 1965 alias beda 6 tahun.
Firman alumi akpol 1988, sedang sang adik alumni akmil 1992.
Try Sutrisno si mantan bocah kurir TNI
Seperti diketahui, Try Sutrisno merupakan mantan Wakil Presiden RI ke-6 periode 1993-1998.
Namanya juga melekat kuat di kalangan militer karena pernah menjabat sebagai Panglima ABRI.
Biodata Try Sutrisno
Try Sutrisno lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 15 November 1935.
Ayahnya, Subandi adalah seorang sopir ambulans, sedangkan ibunya, Mardiyah adalah seorang ibu rumah tangga.
Dikutip Gridhot dari Surya, Try Surtrisno menamatkan pendidikan dasar dan menengahnya di Surabaya. Setelah tamat dari SMP 2 Surabaya, ia kemudian melanjutkan ke SMA 2 Surabaya.
Pada usia 13 tahun, ketika Belanda kembali dan melakukan agresi militer, ia ingin bergabung dengan Batalyon Poncowati untuk ikut berperang. Namun karena tidak ada yang menganggap keinginan Try serius, maka ia hanya dipekerjakan sebagai kurir.
Tugasnya adalah mencari informasi ke daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Belanda serta mengambil obat untuk Angkatan Darat Indonesia. Hingga pada 1949, Belanda akhirnya dapat dipukul mundur.
Setelah sebelumnya harus pindah ke Mojokerto karena serangan Belanda itu, setelah mundurnya Belanda Try dan keluarganya akhirnya kembali ke Surabaya. Di sana Try melanjutkan sekolahnya dan berhasil tamat dari SMA di usianya yang ke-21.
Lulus dari SMA, Try Sutrisno kemudian melanjutkan Pendidikan ke Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad). Pendidikan militernya di Atekad selesai pada tahun 1959.
Riwayat Karier
- Ajudan Presiden Suharto (1974)
- Kepala Staf KODAM XVI/Udayana (1978)
- Panglima KODAM IV/Sriwijaya (1979)
- Panglima KODAM V/Jaya (1982)
- Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (1985)
- Kepala Staf Angkatan Darat (1986)
- Panglima ABRI (1988)
- Wakil Presiden (1993-1998)
Pengalaman militer pertama Try Sutrisno adalah ketika ia ditugaskan dalam peperangan melawan pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1957.
PRRI sendiri merupakan sebuah kelompok sparatis yang berbasis di Sumatera, dimana mereka ingin membentuk pemerintahan alternatif di luar pemerintahan Soekarno.
Ia kemudian dikirim ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat pada tahun 1972. Kemudian pada 1974, ia terpilih menjadi ajudan Presiden Suharto. Sejak saat itulah kariernya di militer terus meroket (1).
Pada 1978, Try diangkat sebagai Kepala Staf KODAM XVI/Udayana. Setahun beselang, Try kemudian menjadi Panglima KODAM IV/Sriwijaya.
Sebagai Pangdam, Try Sutriso aktif menekan tingkat kejahatan serta menghentikan penyelundupan timah. Ia juga aktif di kampanye lingkungan untuk mengembalikan Gajah Sumatera ke habitat asli mereka.
Pada 1982, Try kemudian dipindahkan ke Jakarta, ia diangkat menjadi Panglima KODAM V/Jaya.
Masa-masa ketika ia menjadi Pangdam V/Jaya menjadi salah satu masa kelam dalam hidupnya. Try Sutrisno bersama Panglima ABRI saat itu, Benny Moerdani adalah tokoh utama dalam tragedi Tanjung Priok 1984.
Sampai saat ini belum ada data pasti terkait jumlah korban dalam tragedi tersebut. Pemerintah mengklaim ada 28 orang yang tewas dalam kerusuhan tersebut, namun dari pihak korban tetap bersikeras bahwa jumlah korban yang tewas ada 700 orang (2).
Kendati demikian, kariernya terus berkembang. Pada 1985, ia diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Hanya berselang setahun, pada 1986, ia diangkat sebagai KSAD.
Try menjabat sebagai KSAD selama dua tahun. Setelah lengser, pada 1988 ia kemudian diangkat menjadi Panglima ABRI. Jabatan ini merupakan puncak kariernya di militer.
Ketika ia menjabat sebagai Panglima ABRI, tragedi Talangsari di Lampung meletus pada 1990. Lagi-lagi Try menumpas para demonstran islam, seperti yang dilakukannya saat tragedi Tanjung Priok pada 1984 silam.
Setahun berikutnya, pada November 1991, giliran insiden Santa Cruz di Dili, Timor Timur yang meletus. Kali ini giliran orang-orang Katolik yang terbantai.
Insiden itu tersjadi saat prosesi penguburan Sebastio Gomes. Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk meminta penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin pro-kemerdekaan Xanana Gusmao. Saat itulah tentara melepaskan tembakannya.
Akibat insiden itu, 271 mahasiswa tewas, 382 orang terluka, dan 250 orang lainnya hilang. Sampai saat ini, peristiwa itu dikenal dengan Insiden Dili (3).
Tak pelak, pambantaian itu memicu kecaman dari dunia internasional. Tri Sutrisno kemudian dipanggil oleh DPR untuk menjelaskan insiden tersebut.
Masa jabatannya sebagai Panglima ABRI akhirnya berakhir pada 1993.
Kendati demikian, bukan berarti kariernya berhenti sepenuhnya. Di tahun yang sma, pada 1993 ia justru diangkat menjadi wakil presiden mendampingi Suharto.
Sebagai wakil presiden yang ke-6, Tri mendampingi Suharto sampai 1998 sebelum posisinya digantikan oleh B. J. Habibie menjelang reformasi.
Setelah jabatannya sebagai wakil presiden selesai, Try tidak serta merta melepaskan perhatiannya terhadap keadaan bangsa. Ia tetap aktif menyoroti kinerja pemerintahan.
Ketika masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Try membentuk forum Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu yang beranggotakan Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan beberapa tokoh lain.
Tujuannya adalah untuk memprotes kebijakan SBY mengenai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan wacana kenaikan harga BBM yang direalisasikan.
Namun konflik itu akhirnya bisa diredam ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya.
Nama Try Sutrisno juga sempat kembali mencuat ketika ia melayangkan opini bahwa masyarakat Indonesia sudah semakin jauh dengan nilai-nilai Pancasila.
(*)