Gridhot.ID - Kehadiran Tentara sekutu di Semarang tepatnya tanggal 20 Oktober 1945 dipimpin Jenderal Bethel mempunyai misi utama melucuti senjata pasukan Jepang.
Kedua, membebaskan Tentara Sekutu yang ditawan Jepang selama Perang Dunia II.
Selebihnya menjaga keamanan dan ketentraman dengan tidak mengganggu kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun pada prakteknya sekutu yang diboncengi Netherlands Indies Civiele Administration (NICA) bertindak arogan.
Baca Juga : Nasi Padang, Selain Bikin Kenyang Ini Kandungan Penting di Dalamnya
NICA datang dan berupaya menancapkan kembali kuku kolonialisme di Indonesia.
Hal inilah yang menyulut kemarahan Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Ambarawa dan sekitarnya.
Penyerangan NICA ke markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pembunuhan dan penyiksaan kepada warga sipil membuat seluruh elemen di tanah air sepakat usir Sekutu dari Ambarawa.
Jenderal Sudirman yang kala itu masih berpangkat Kolonel sebagai komandan Divisi V turun ke medan perang.
Baca Juga : NATO Siap Pasok Perangkat Militer ke Ukraina untuk Hadapi Rusia
11 Desember 1945 Pak Dirman memanggil seluruh komandan sektor TKR dan kelaskaran bersenjata untuk membahas rencana penyerangan kepada NICA dan Sekutu.
Bisa disebut ini adalah perang Asimetris. Di mana pasukan Republik kalah dalam segala hal baik persenjataan dan disiplin militer.
Bagaimana tidak, musuh yang mereka hadapi adalah Sekutu yang bermoral amat tinggi, berpengalaman tempur setelah memenangkan babakan Perang Eropa melawan Nazi Jerman.
Hanya satu kelebihan dari tentara Republik, yakni semangat berani mati mempertahankan kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka.
Baca Juga : Gila, Aset 50 Konglomerat Terkaya Indonesia Capai Rp 1.870 Triliun! Hampir Sama dengan APBN Tahun 2018
Lantas Kolonel Sudirman menerapkan siasat yang digunakan dalam perang Ambarawa yaitu, cepat, cerdik, serentak di segala sektor dengan menggunakan taktik dan strategi "Supit Urang."
Dikutip dari kodam14hasanuddin-tniad.mil.id, dalam prakteknya di lapangan, "Supit Urang" adalah gerakan pendobrakan oleh pasukan pemukul dari arah Selatan dan Barat ke arah Timur menuju Semarang.
Gerakan tersebut diikuti dengan gerakan penjepitan dari lambung kanan dan kiri sebagaimana halnya seekor udang menjepit mangsanya.
Selanjutnya Supit bertemu di bagian luar Ambarawa ke arah Semarang.
Kecermatan, pendadakan dan semangat juang tinggi membuat taktik Supit Urang berjalan sangat efektif.
Keunggulan dari segi teknis NICA dan Sekutu tak berarti di sini, mereka kalang kabut menghadapi tentara Republik Indonesia.
Selama 12-15 Desember 1945, Ambarawa berubah menjadi palagan perang sengit.
Hasilnya pada tanggal 15 Desember 1945 NICA dan Sekutu berhasil dipukul mundur ke Semarang, sebuah tamparan memalukan bagi pasukan pemenang Perang Dunia II kalah oleh tentara dari negara yang baru merdeka kemarin sore.
Untuk mengenang perjuangan segenap unsur di Ambarawa dalam melawan Sekutu, maka Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 163 Tahun 1999 dan Surat Keputusan Kasad Nomor Skep/662/XII/1999, ditetapkan tanggal 15 Desember sebagai Hari Juang Kartika yang sebelumnya dinamai Hari Infanteri. (Seto Aji/Gridhot.ID)