GKR Hemas Awalnya Tak Sudi Menikah dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X : Saya Tak Terpikat Pada Status Darah Biru

Sabtu, 22 Desember 2018 | 08:35
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

GKR Hemas, permaisuri Sultan Yogya

Gridhot.ID - GKR Hemas, istri Sri Sultan Hamengkubuwono X dijatuhi sanksi oleh Badan Kehormatan (BK) DPD RI dengan pemberhentian sementara.

Sanksi ini diberikan lantaran GKR Hemas bolos rapat DPD RI selama 12 kali.

Namun di lain sisi dari keanggotaannya sebagai DPD RI, GKR Hemas punya kisah menarik semasa masih usia remaja.

Dikutip dari Tabloid NOVAedisi Mei 1993, dengan judul asliGusti Kanjeng Ratu Hemas (2): Sepatu Hak Tinggi untuk Berkelahi,, rupanya GKR Hemas pernah kabur ke Jerman.

Baca Juga : Rupanya Ini Alasan Bule Cantik Polly Alexandrea Robinson Mau Dinikahi Nur Khamid

Hal ini lantaran dirinya takut dinikahkan dengan Pangeran Yogyakarta kala itu, Mas Herjuno (Sri Sultan Hamengkubuwono X).

Sebelum kabur ke Jerman, GKR Hemas memang sudah sangsi bila harus menikah dengan orang ningrat.

Ia berpikir tak akan mampu beradaptasi dengan budaya Keraton Yogyakarta.

"Saya tertarik kepada Mas Herjuno bukan karena ia berdarah sangat ningrat, putra raja," ujar GKR Hemas.

Baca Juga : 5 Hari Terjepit Batu Besar, Pria Ini Amputasi Tangannya Sendiri Agar Tetap Hidup

"Sebagai anak Jakarta, saya tak terpikat pada status darah biru," tambahnya.

Bagi GKR Hemas yang hidup urban di Jakarta, status ningrat ia anggap angin lalu dan tak paham arti menjadi darah biru.

"Karena saya memperoleh pendidikan di Jakarta, lingkungan urban yang sama sekali tak akrab dengan kehidupan ningrat, saya pun tak paham apa arti ningrat dalam kehidupan ini. Status Mas Herjuno tak penting untuk saya."

"Sebab itulah saya tak pernah berpikir atau menganalisis suatu saat Mas Herjuno akan terpilih menjadi sultan menggantikan ayahandanya."

Baca Juga : Miris, Presiden Sudan Terancam Digulingkan Rakyat Hanya Karena Naikkan Harga Roti Jadi Rp 900 Perak!

GKR Hemas juga berpikir apakah nanti jika menikah dengan Sri Sultan dirinya bisa diterima oleh pihak keraton.

"Apakah Mas Herjuno dan pihak Keraton bisa menerima saya secara apa adanya? Apakah saya, dengan latar belakang budaya Jakarta, bisa beradaptasi dengan budaya Keraton?"

"Apakah saya bisa berubah menjadi pribadi yang bertingkah-laku halus selayaknya putri-putri Keraton?"

GKR Hemas lantas mengutarakan kegelisahannya itu kepada Mas Herjuno.

"Yang penting saya senang sama kamu. Dan kamu harus bersedia patuh pada saya," ujar Sri Sultan kala itu.

Diterangkan pula pada GKR Hemas jika menikah dengannya nanti haruslah mentaati kewajiban-kewajban, baik sebagai pribadi maupun fungsinya dalam keluarga besar Keraton.

Terlebih GKR Hemas nantinya diharuskan beradaptasi dengan budaya keraton.

Setelah mendengar penjelasan Mas Herjuno, GKR Hemas langsung cabut, kabur ke Jerman.

"Apakah saya mampu? Kesangsian itu terus melanda saya. Begitu hebatnya keragu-raguanitu, hingga saya sempat kabur ke Jerman, menjumpai kakak di sana," ujarnya.

"Saya utarakan segala kecemasan kepadanya. Bahkan saya sempat berkata tidak bersedia menikah dengan Mas Herjuno. Saya takut! Saya kehilangan kepercayaan diri!"

Tiga bulan berada di Jerman, GKR Hemas akhirnya harus pulang ke Indonesia dengan alasan kuliah.

Namun nyatanya GKR Hemas menerima telepon dari sang ibu yang menyuruhnya pulang ke Tanah Air untuk dinikahkan.

"Sekitar tiga bulan saya berada di Jerman. Bahkan ada niatan untuk sekolah di Eropa. Tapi toh saya memutuskan pulang ke Indonesia. Ada dorongan hati untuk melanjutkan kuliah di Universitas Trisakti."

"Tapi, sesungguhnya, penyebab utama saya balik ke Indonesia adalah telepon dari Jakarta yang meminta saya selekasnya pulang. Saya akan dinikahkan."

"Orangtua saya, terutama Ibu, sampai menangis dan dengan keras mengimbau agar saya bersedia dinikahkan."

"Beliau memohon agar saya menuruti permintaannya. Katanya, "Kamu anak perempuan satu-satunya. Kepada siapa lagi kamu bersedia menurut kalau tidak kepada orangtuamu sendiri."

Akhirnya walau sempat kuliah selama satu tahun, GKR Hemas lekas dinikahkan dengan Mas Harjuno tahun 1973.

(*)

Tag

Editor : Seto Ajinugroho

Sumber Tabloid Nova