Laporan Wartawan Gridhot.ID, Septiyanti Dwi Cahyani
Gridhot.ID - Peristiwa tsunami yang menerjang pantai-pantai di sekitar Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) malam kemarin masih menyisakan duka yang mendalam.
Tsunami yang terjadi di Selat Sunda itu mengakibatkan ratusan orang meninggal, ribuan orang luka-luka dan puluhan orang masih dinyatakan hilang.
Dilansir dari Kompas.com, BMKG menyebutkan ada dua peristiwa yang kemungkinan menjadi penyebab tsunami tersebut.
Yakni aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau dan gelombang tinggi karena cuaca di perairan Selat Sunda.
Sementara itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan bahwa meraka masih mendalami apakah gelombang tsunami dan aktivitas Gunung Krakatau selama beberapa bulan terakhir memiliki keterkaitan.
Lebih dari 400 letusan kecil terjadi pada Gunung Anak Krakatau ini.
Baca Juga : Kabar Keberadaan Istrinya Ternyata Hoaks, Ifan Seventeen: Aku Masih di Sini, Kita Pulang Sama-sama Sayang
Gunung yang terletak di tengah laut atau yang berada di pinggir pantai seperti Gunung Anak Krakatau ini sewaktu-waktu sangat berpotensi menghasilkan volcanogenic tsunami.
Gunung Anak Krakatau merupakan kaldera atau fitur vulkanik yang terbentuk akibat erupsi besar Gunung Krakatau pada abad ke-19.
Menurut beberapa catatan sejarah, Gunung Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883 sekitar pukul 10.20.
Letusan Gunung Krakatau ini tercatat dalam The Guinness Book of Records sebagai "letusan terhebat yang terekam dalam sejarah (the most powerful recorded explosion in history).
Dan tsunami yang terjadi di Selat Sunda ini seakan mengingatkan kita akan potensi bahanya erupsi Gunung Krakatau yang pernah menjadi penyebab bencana terdahsyat sepanjang sejarah.
Melansir dari Intisari Online, pada tahun 1883 erupsi gunung Krakatau menewaskan ribuan orang.
Kisahnya terjadi pada 20 Mei ketika gemuruh awal dan kawah dari gunung ini mulai aktif selama sekitar 200 tahun.
Selama 3 bulan berikutnya, ada ledakan kecil reguler dari Krakatau dari tiga ventilasi pada 11 Agustus di mana abu menyembur dari gunung kecil ini.
Hingga kemudian, erupsi mulai kuat pada 26 Agustus, dan pada saat itulah bencana mengerikan mulai terjadi.
Pada siang hari gunung Krakatau mengirim awan abu sejauh 20 mil ke udara dan getaran yang memicu beberapa tsunami.
Ini hanya indikasi kecil dari getaran yang memicu beberapa tsunami, tentang bagaimana yang akan terjadi berikutnya.
Selama empat setengah jam mulai pukul 5.30 pagi pada tanggal 27 Agustus, ada empat letusan besar yang sangat kuat.
Baca Juga : Dylan Sahara, Istri Ifan Seventeen Dikabarkan Ditemukan Dalam Kondisi Meninggal
Yang paling akhir membuat suara paling keras dan kuat yang pernah direkam di planet ini.
Bahkan terdengar hingga Australia tengan dan Pulau Rodrigues yang terletak 3.000 mil dari Krakatau.
Gelombang udara yang diciptakan oleh letusan terdeteksi di titik-titik dari seluruh muka bumi.
Letusan ini memiliki efek yang menghancurkan pulau-pulau dekat Krakatau, hingga memicu tsunami luar biasa yang menyapu ratusan desa di pesisir Jawa dan Sumatra.
Air mendorong daratan beberapa mil di tempat-tempat tertentu, dengan balok-balok karang seberat 600 ton berakhir di pantai.
Setidaknya 35.000 orang tewas, meskipun angka tersebut belum bisa dipastikan.
Tsunami berjalan hampir di seluruh dunia, gelombang tinggi yang luar biasa terlihat ribuan mil jauhnya pada hari berikutnya.
Gunung api ini melemparkan begitu banyak batu, abu dan batu apung ke atmosfer di daerah terdekat, bahkan matahari hampir tidak terlihat dalam beberapa hari.
Dalam beberapa minggu, matahari muncul dengan warna aneh di hadapan orang-orang dari seluruh dunia karena debu halus berhamburan di atmosfer.
Selama 3 bulan berikutnya, puing-puing tinggi di langit menghasilkan matahari terbenam berwarna merah yang jelas.
Dalam satu kasus, pemadam kebakaran di Poughkeepsie, New York, dikirim ketika orang-orang menonton matahari terbenam, karena mereka yakin melihat api dari kejauhan.
Lebih lanjut, lukisan Edvard Munch tahun 1893 'The Scream' diyakini melukiskan bagiamana dunia terjadi setelah erupsi Krakatau.
Selain itu, jumlah debu di atmosfer juga menyaring matahari dan panas yang cukup sehingga suhu global turun secara signifikan selama beberapa tahun.
Namun, setelah metelus gunung Krakatau hancul dan menyisakan anak Krakatau di sebuah pulau kecil yang terus tumbuh rata-rata 5 inchi setiap minggu. (*)