Sudah Dinyatakan Berstatus Siaga, Letusan Gunung Anak Krakatau Tiba-tiba Berhenti Sama Sekali

Minggu, 30 Desember 2018 | 16:02
Kompas.com / Riza Fathoni

Foto aktivitas letupan Anak Gunung Krakatau pada Minggu (23/12).

Laporan Wartawan GridHot.ID, Chandra Wulan

GridHot.ID - Letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) disebut-sebut menjadi penyebab tsunami Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018).

Akibat letusan tersebut, tinggi Gunung Anak Krakatau berkurang signifikan.

Sebelumnya, tingginya mencapai 338 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Setelah letusan, tingginya hanya 110 mdpl.

Kompas.com memberitakan sebelumnya, data tersebut disampaikan sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo.

Berkurangnya ketinggian GAK disebabkan proses pembentukan tubuh gunung api yang disertai erupsi.

Hal ini dibenarkan oleh pengamatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Baca Juga : Nelayan Ini Jadi Saksi Hidup Terjadinya Tsunami Banten: Saya Lihat Gunung Anak Krakatau Membelah Dua, Setelah Itu Timbulah Tsunami

Volume GAK juga berkurang 150-180 juta meter kubik dan hanya menyisakan 40-70 juta meter kubik.

Menurut pengamatan PVMBG, saat ini GAK mengeluarkan letusan impulsif.

Artinya, sesaat setelah GAK meletus tidak nampak asap keluar dari kawah.

Pengamatan sebelumnya pada Kamis (27/12/2018) sekitar pukul 23.00 terjadi letusan dengan onset tajam dan tampak letusan Surtseyan di sekitar permukaan air laut.

Letusan Surtseyan terjadi karena magma yang keluar dari kawah GAK bersentuhan dengan air laut dan strombolian (semburan lava pijar dari magma yang dangkal).

Potensi Bencana Erupsi Gunung Anak Krakatau Melihat kondisi saat ini, PVMBG memperkirakan kondisi yang paling memungkinkan adalah munculnya letusan-letusan Surtseyan.

"Letusan jenis ini terjadi di permukaan air laut. Meski bisa banyak menghasilkan abu, (hal ini) tidak akan menjadi pemicu tsunami," ungkap PVMBG.

Baca Juga : Pasca Meletus, Tinggi Gunung Anak Krakatau Menyusut dari 338 MDPL Jadi 110 MDPL

Sementara itu, potensi bahaya lontaran material lava pijar tetap ada.

"Dengan jumlah volume yang tersisa tidak terlalu besar, maka potensi terjadi tsunami relatif kecil. Kecuali ada reaktivasi struktur patahan atau sesar di Selat Sunda," imbuhnya.

Berdasar hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga Jumat (28/12/2018), tingkat aktivitas GAK berada di level III (Siaga).

Sehubungan dengan status Level III (Siaga) tersebut, PVMBG menghimbau masyarakat untuk berada di radius 5 kilometer dari kawah dan selalu menggunakan masker untuk mengantisipasi jika terjadi hujan abu.

"Masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung harap tenang serta jangan mempercayai isu tentang erupsi GAK yang akan menyebabkan tsunami. (Masyarakat) dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan terus mengikuti arahan BPBD setempat," tutup PVMBG.

Meski demikian, PVMBG memberikan keterangan mengejutkan soal letusan GAK.

Dilansir dari ANTARA News, PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM menyampaikan informasi letusan GAK di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, sudah berhenti.

Baca Juga : Gunung Anak Krakatau Terus Bergejolak, Kepulauan Seribu Dipenuhi Kerikil hingga Terlihat Seperti Dataran Baru

Hasil pengamatan Satelit Himawari dan radar cuaca sejak Sabtu (29/12/2018) malam hingga Minggu (30/12/2018) pagi menunjukkan letusan berhenti total sama sekali.

Rekaman seismograf di Pulau Sertung, gugusan pulau di Selat Sunda, dekat GAK menunjukkan tidak ada fluktuasi getaran, kalem, amplitudo rata-rata 10 mm.

Pada saat letusan amplitudonya 25-30 mm.

Meski demikian, tim PVMBG menyatakan bahwa pihaknya tidak mengetahui apakah masih ada fluktuasi erupsi lagi seperti pada 22 Desember 2018 atau memang erupsi sudah berhenti sama sekali.

(*)

Tag

Editor : Chandra Wulan

Sumber Kompas.com, ANTARA News