Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade Prasetyo
Gridhot.ID - Perhatian dunia sedang mengarah pada duka negara Selandia Baru atas teror penembakan yang menyerang dua Masjid di pusat kota Christchurch yang menewaskan setidaknya 49 orang.
Kejadian memilukan terjadi di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood kota Christchurch, Selandia Baru pada hari ini, Jumat (15/3/2019).
Dilansir Gridhot.ID dari BBC, dugaan sementara serangan aksi teror itu dilakukan oleh ekstrimis sayap kanan kepada kaum muslim di Christchurch.
Empat pelaku yang terdiri dari tiga pria dan satu wanita berhasil diamankan.
Sementara itu satu pelaku pria berumur 28 tahun bernama Brenton Tarrant asal Grafton, Australia telah ditetapkan menjadi tersangka.
Efek dari teror itu ternyata masih menyebabkan trauma bagi umat Muslim yang tinggal di Christchurch.
Seperti halnya umat Muslim lain di Christchurch, Abdel Halim yang lahir di Mesir itu, masih belum bisa memahami kekerasan yang terjadi.
Bayang - bayang kekejaman teror masih menghantui umat Muslim di Christchurch pasca kejadian penembakan
Dilansir Gridhot.ID dari Kompas.com Sabtu (16/3/2019), sejak awal 2018, komunitas Muslim setempat bekerja sama membangun masjid itu setelah dibeli sebuah yayasan.
Beberapa bulan lalu, masjid Linwood di Christchurch, Selandia Baru dengan bangga menggelar karpet baru di ruangan utamanya.
Pada Jumat (15/3/2019), karpet berwarna coklat muda itu bersimbah darah setelah seorang teroris menyerang dan menembaki jemaah masjid.
"Darah di mana-mana. Semua tak terkendali," kata Ibrahim Abdel Halim, yang merupakan imam masjid Linwood.
Pada saat peristiwa penembakan terjadi, tujuh orang jemaah masjid yang tewas dalam tragedi itu.
Beberapa di antaranya adalah mereka yang paling giat menyisihkan waktu dan dana untuk membangun tempat ibadah itu.
Seorang perempuan, warga lokal Selandia Baru, tewas tertembak dan jatuh di samping istri Abdel Halim.
Geram aamanya dibawa sang teroris dalam aksi penembakan masjid Christchurch, PiwDiePie klarifikasi hal tersebut melalui Twitternya
Sedangkan Istri Abdel Halim, Falwa El-Shazly, tertembak di lengannya tetapi berhasil lolos dari maut.
Pria lainnya, seorang warga keturunan India-Fiji yang kerap membawa makanan dari restoran miliknya saat masjid menggelar penggalangan dana, juga tewas.
"Mereka teman-teman terkasih saya. Mereka adalah orang-orang yang bekerja untuk masjid tanpa pamrih," ujar Abdel Hamid.
"Ini adalah hari yang amat buruk, bukan hanya bagi kami tetapi bagi seluruh Selandia Baru," tambahnya.
Di Hedley College, ruang utama tempat berlindung dipenuhi keluarga korban dari berbagai etnis dan budaya yang saling berbagi pelukan sambil menahan tangis.
Di tengah kesedihan tak tertahankan itu, mereka saling berbagi kabar tentang orang-orang yang mereka cintai.
Dengan hanya berjumlah satu persen dari seluruh penduduk Selandia Baru, komunitas Muslim negeri itu menjalin ikatan yang erat.
Saat mereka mendengar tragedi tersebut, banyak orang berbondong-bondong menuju ke masjid lokasi penembakan.
"Saya tidak bisa menghadiri shalat Jumat karena harus bekerja. Namun, saya menerima telepon dari beberapa teman dan langsung pergi ke lokasi," kata Mohammad Kamaruzzaman, pria keturunan Bangladesh.
"Lima kawan kami dari Bangladesh masih hilang. Hanya Allah yang tahu keberadaan mereka," ujar Kamaruzzaman.
Korban penembakan yang dilakukan oleh teroris di Masjid Al Noor dan Linwood di Selandia Baru, Jumat (15/3)
"Kami sudah kehilangan wanita pelindung komunitas yang mengajar Al Quran untuk anak-anak. Kami seperti kehilangan orangtua," tambahnya.
Sementara itu, pria kelahiran Fiji, Azan Ali (43), yang berada di masjid Linwood bersama ayahnya saat serangan terjadi, masih gemetar saat mengenang tragedi itu.
"Apakah saya bisa melihat orangtua saya, anak-anak saya, orang-orang yang saya cintai?" kata Azan dengan suara bergetar.
Ayahnya, Sheik Aeshad, yang melihat seorang korban tertembak di lehernya, mengatakan dia tak mengerti mengapa kekerasan semacam itu terjadi di Selandia Baru.
Selama ini Selandia Baru dikenal sebagai negara kecil yang damai dengan pemandangan hijau di mana-mana.
"Kami tak menyangka hal ini bisa terjadi di Selandia Baru. Negeri ini adalah tempat yang amat damai. Anda bisa pergi meninggalkan rumah dengan pintu terbuka. Namun kini tidak lagi," kata Aeshad.
"Saya memikirkan apa yang akan terjadi nanti mungkin saja akan lebih banyak orang diserang di tempat lain," tambah dia.
Kekhawatiran serupa disampaikan Sahra Ahmed, perempuan keturunan Somalia yang sehari-hari bekerja sebagai perawat.
"Ini adalah gerakan global, suka atau tidak. Ini terjadi di seluruh dunia. Dan beberapa orang mengimpor ide dari orang lainnya. Jadi negeri ini tidak kebal dari hal semacam ini," kata Sahra.
"Tak masalah ke mana pun Anda pergi, dunia ini amat kecil," dia menegaskan.(*)