Gridhot.ID - Ada kalanya seorang manusia melakukan kejahatan melebihi iblis.
Bahkan kejahatan tersebut dinilai melebihi nalar manusia dan iblis pun 'malu' kalah akan kejahatan yang dibuat oleh manusia.
Seperti pembunuh bayaran satu ini.
Dialah Julio Santana, pembunuh bayaran paling mematikan di dunia—yang diklaim telah melakukan hampir 500 pembunuhan
Julio Santana menjatuhkan lutut kirinya, lalu menyanggakan siku kanannya di pinggulnya dan memegang senapan berburu sampai orang yang disebut Yellow itu benar-benar dalam sasarannya.
Saat itu, seperti dilaporkan The Post pada Sabtu (27/4), 6 Agustus 1971 dan Santana masih berusia 17 tahun.
Di desanya, jauh di tengah hutan hujan Amazon, dia tinggal di sebuah gubuk bersama orangtua dan dua saudara lelakinya.
Walau hanya pernah berburu tikus hutan dan monyet untuk makanan, Santana dikenal sebagai penembak jitu.
Sementara itu, pria yang akan dia bunuh itu, Antonio Martins nama aslinya, adalah seorang nelayan berusia 38 tahun dengan rambut pirang dan berkulit putih.
Santana telah melihatnya di bawah kanopi hutan yang panas selama tiga jam. Saat itu, dia kurang yakin apakah dia benar-benar bisa menarik pelatuknya.
Yellow, kabarnya, telah memperkosa seorang gadis berusia 13 tahun di desa terdekat, dan ayahnya menyewa paman Santana, pembunuh bayaran profesional, untuk membunuhnya.
Santana tahu bahwa di Amazon yang luas dan tanpa hukum, penduduk setempat kerap menjalankan hukum dengan tangan mereka sendiri selama ratusan tahun.
Namun, dia terkejut mengetahui bahwa pamannya—seorang polisi militer—juga seorang pembunuh bayaran.
Dan si paman kini menyerahkan tugas pembunuh bayaran itu kepada penokannya, kepada Santana, yang dia harapkan bisa menjadi penerusnya.
Santana sejatinya ogah, dia takut masuk neraka karena membunuh manusia lain.
Tapi ketika sang paman, Cicero, menjelaskan bagaimana Yellow telah menipu gadis itu dengan berjanji akan membawanya melihat lumba-lumba merah muda di Sungai Tocantins sebelum memperkosanya di rumahnya, Santan pun berubah pikiran.
Untuk menguatkan hati sang keponakan, Cicero, yang ogah berurusan dengan malaria, meyakinkan keponakannya bahwa Tuhan akan menilai sebaliknya.
Ya tinggal bertobat sajalah, kira-kira begitu nasihat sang paman.
“Dengan begitu aku jamin kamu akan dimaafkan,” kata Cicero.
Santan mencengkeram senapannya, dan menatap lurus ke arah dada Yellow ketika dia berdiri di atas perahu kayu di tanah terbuka dekat sungai.
Dia tahu bahwa hanya dalam jarak 40 yard, dia tidak mungkin melewatkan sasarannya.
Baca Juga : Bersenjatakan AK-47, Model Cantik Ini Dibekali Kemampuan Membunuh dan Direkrut Jadi Pengawal Vladimir Putin
Ketika tembakan akhirnya terdengar di keheningan hutan, Santana sempat melihat ekspresi teror yang sekilas melintasi wajah korbannya sebelum dia jatuh mati ke dasar kapalnya.
Kemudian Santana menyingkirkan mayat itu, membakar dan melemparkannya ke sungai, di mana piranha-pirahan sudah siap melahap sisa-sisa jasadnya.
“Tidak pernah dalam hidupku aku akan membunuh siapa pun, Tuhan,” katanya. “Tidak akan lagi.”
Santana akan mengingat pembunuhan pertama itu sepanjang sisa kariernya yang berlumuran darah.
Bahkan setelah dia mengambil nyawa hampir 500 nyawa dan menjadi pembunuh bayaran paling produktif di dunia, raut wajah Yellow sesaat sebelum dia meninggal akan menghantui mimpinya selama beberapa dekade.
Santana sebenarnya memiliki sedikit aspirasi dalam hidup.
Seperti kebanyakan pria muda di pedalaman Brasil, dia tampaknya “ditakdirkan untuk menjadi nelayan yang damai yang tinggal di kedalaman hutan hujan," tulis wartawan Brasil pemenang penghargaan, Klester Cavalcanti, dalam buku barunya The Name of Death yang mengisahkan karier Santana.
Di Brasil, buku ini juga telah diadaptasi sebagai film layar lebar.
Cavalcanti mengatakan dia menemukan Santana dalam perjalanan pelaporan ke Amazon 10 tahun yang lalu untuk menyelidiki perbudakan modern.
“Seorang perwira polisi federal mengatakan kepada saya bahwa sangat umum di wilayah itu para peternak mengontrak par apembunuh bayaran untuk membunuh budak buron," kata Cavalcanti, 49, kepada The Post.
Baca Juga : Disinyalir Jual Produk Palsu, 2 Toko Online Terbesar Indonesia Diawasi Ketat Oleh Pihak Berwenang Amerika
“Saya mengatakan kepada petugas bahwa saya benar-benar ingin mewawancarai pembunuh bayaran dan dia memberi saya nomor untuk telepon umum dan mengatakan kepada saya untuk meneleponnya pada tanggal dan waktu tertentu.”
Ketika Santana menjawab telepon di Porto Franco, kota kecil di pedalaman negara bagian Maranhao, Brasil, tempat dia tinggal saat itu, dia enggan berbicara dengan wartawan itu.
“Saya menghabiskan tujuh tahun meyakinkan dia untuk berbicara kepada saya tentang hidupnya," kata Cavalcanti.
“Kami berbicara tentang segalanya dan bukan hanya tentang pekerjaannya. Dia berbicara tentang masa kecilnya, hubungannya dengan orangtuanya dan saudara-saudaranya dan kehidupan yang tenang yang dia jalani di hutan serta drama internal yang dia hadapi ketika dia mulai bekerja sebagai pembunuh bayaran.”
Sementara itu, Santana, yang kini berusia 64 tahun, mengatakan kepada The Post dalam sebuah wawancara melalui e-mail pekan lalu, dia menyukai cara Cavalcanti yang berkisah secara jujur.
Dan sebaliknya, dia tidak menyukai cara film yang mengangkat kisahnya itu tentang menceritakan kisahnya.
“Kisah nyata dalam hidupku jauh lebih sedih daripada apa pun yang bisa kau bayangkan,” katanya.
Setelah pembunuhan pertama itu, paman Santana menawarinya sebagai pembunuh bayaran bagi pemerintah Brasil dalam pertempuran melawan pemberontak komunis di lembah Sungai Araguaia di Amazon.
Dari 1967 hingga 1974, gerakan Araguaia Guerrillas mencoba membangun basis pedesaan untuk menggulingkan kediktatoran militer Brasil, dan merekrut petani dan nelayan untuk tujuan mereka.
Pada awal 1970-an, Santana mendapatkan kontrak pertama dengan tugas melacak perkemahan gerilya.
Dalam satu kasus, dia membantu menangkap militan kiri Jose Genoino, seorang mahasiswa hukum dan salah seorang pemimpin gerilyawan.
Santana menyaksikan dengan ngeri ketika tentara menghabiskan waktu berhari-hari menaruhnya di lokasi rahasia di hutan hujan.
Bertahun-tahun kemudian, Genoino menjadi anggota Kongres dan presiden Partai Buruh yang berhaluan kiri.
Dalam sebuah wawancara dengan Cavalcanti, dia mengingat seorang "bocah" dalam kelompok yang menangkapnya di Amazon.
Santana baru berusia 18 tahun saat itu, dan sebagian dihargai atas pekerjaannya dengan sebotol Coca Cola—minuman favoritnya dan kemewahan yang tidak pernah mampu dijangkau oleh keluarga miskinnya.
Tidak lama setelah penangkapan Genoino, Santana menembak dan membunuh seorang militan komunis lainnya, seorang guru sekolah 22 tahun bernama Maria Lucia Petit.
Selama hampir dua dekade, Petit dianggap “menghilang” begitu saja.
Kisah lengkap tentang bagaimana dia berakhir di kuburan massal di kuburan berdebu, tubuhnya terbungkus parasut tua, baru terungkap setelah keluarganya menekan Komisi Kebenaran Brasil untuk menggali tubuhnya.
Setelah pemerintahan Brasil beralih ke sipil pada 1985, para korban Santana beralih dari target politik menjadi penambang emas kucing liar dan pasangan yang selingkuh.
Pada 1987, setelah dia membunuh seorang wanita bersuami yang diduga berselingkuh, Santana ditangkap oleh polisi setempat dan menghabiskan malam di penjara.
Dia dibebaskan setelah menyerahkan sepeda motor barunya sebagai suap.
Sekitar waktu inilah Santana mengatakan dia menemukan bahwa pamannya sejatinya telah menipunya dengan mengatur pembunuhan tetapi hanya memberi Santana sebagian kecil dari jumlah dia dibayar di muka.
Rata-rata, Santana mengatakan dia mendapatkan antara $ 60 dan $ 80 per pembunuhan, di mana itu setara dengan gaji minimum bulanan di Brasil.
Setelah dia berkonfrontasi dengan pamannya tentang eksploitasi kepadanya selama lebih dari 20 tahun, dia tidak pernah berbicara dengannya lagi.
Santana berhenti berurusan dengan kematian pada 2006 ketika dia berusia 52 dan setelah istrinya memberinya ultimatum.
“Istrinya berulang kali mengatakan kepadanya bahwa tipu muslihatnya mengatakan 10 Hail Marys dan 20 Our Fathers, yang terus dilakukan Julio setelah setiap pembunuhan, bukanlah pertobatan yang pantas."
Santana, yang dibesarkan sebagai penganut Katolik, beralih ke aliran Evangelikal untuk membantunya memperbaiki cara hidupnya.
“Saya selalu percaya pada Tuhan," katanya kepada The Post.
“Saya percaya bahwa Tuhan memberi saya kekuatan untuk menanggung segala yang saya derita dalam hidup saya karena pekerjaan jahat itu. Saya tahu apa yang saya lakukan salah.”
Dia mengatakan bahwa dia tidak pernah memberi tahu dua anak juga orangtuanya sendiri yang sudah lama meninggal, tentang kariernya.
Dia memuji istrinya, yang dia temui saat dia bekerja sebagai pelayan di sebuah bar di Amazon, dengan mendorongnya untuk meninggalkan pekerjaannya dan memeluk keyakinan mereka.
“Dia adalah cinta dalam hidupku, orang yang telah memberiku kekuatan untuk mengatasi semua yang telah aku lalui,” katanya. “Tanpa dia, aku tidak akan menjadi apa-apa.”
Hari ini, dia tinggal dengan damai di kota yang tidak akan disebut namanya di pedalaman Brasil.
Dia menolak untuk diambil foto lengkapnya karena dia mengatakan tidak ada tetangganya yang tahu tentang masa lalunya.
Dia dan istrinya sekarang memiliki pertanian kecil tempat dia menanam sayuran, katanya.
Pada satu titik dalam hidupnya, dia mencatat dengan cermat setiap pembunuhan dalam buku catatan sekolah, menuliskan siapa yang mempekerjakannya, di mana pembunuhan itu terjadi dan berapa banyak dia dibayar.
Setelah dia mencapai nomor 492, dia berhenti mencatat kematian.
“Saya tidak ingin memikirkannya lagi,” katanya. “Bagian hidupku sudah berakhir.” (Moh. Habib Asyhad)
Artikel ini pernah tayang di suar.grid.id dengan judul "Telah Membunuh 500 Orang, Petani Sayur Ini Disebut sebagai Pembunuh Bayaran Paling Sadis di Dunia"