Laporan Wartawan Gridhot.ID, Candra Mega
Gridhot.ID - Anggota Brimob Satgas Amole yang bertugas mengamankan kegiatan operasional PT Freeport Indonesia, Bripka Desri Sahrondi (40) tewas digigit ular.
Dikutip dari Antara,Bripka Sahroni digigit ular pada Sabtu (27/7/2019) dan meninggal dua hari kemudian, Senin (29/7/2019).
Kapolda Papua Irjen Pol Rudolf Rodjo memastikan penyebab kematian Bripka Sahrondi akibat gigitan ular derik yang merupakan ular endemik di Papua dan Australia.
"Dari laporan yang diterima memang jenis ular tersebut sangat mematikan hingga menyebabkan korban meninggal," ujarnya di Jayapura, Senin malam.
Radja mengatakan Bripka Sahroni yang berasal dari Brimob Polda Sumbar digigit ular pada Sabtu saat menjaga rekan-rekannya yang sedang mandi di Kali Iwaka,Kabupaten Mimika, Papua
Korban terkena gigitan ular di tangan kanannya saat sedang duduk ketika mengawasi dan mengamankan rekan-rekannya yang sedang mandi.
Bripka Sahronirefleks memegang ular tersebut meski sempat digigit beberapa kali dan memasukkannya ke dalam botol air mineral yang dipegangnya.
Setelah digigit, BripkaSahroni memijat tangan kanan bekas gigitan ular dengan maksud untuk mengeluarkan racun.
Meski sempat mendapatkan perawatan medis di rumah sakit, nyawa Bripka Sahroni tak bisa tertolong.
Bripka Sahronimengembuskan napas terakhir pada Senin (29/7/2019) pukul 09.55 WIT di RS Mitra Masyarakat Mimika.
Dikutip dari Kompas, pakar toksinologi dan bisa ular Dr dr Tri Maharani, M.Si SP menceritakan, ular yang menggigit Bripka Sahroni bukanlah jenis derik, melainkan ular death adder dengan nama latin acantopis.
![Grid Networks](https://cdn.grid.id/photo/noimg.png)
![Seorang Anggota Polisi Yang Bertugas di Papua Meregang Nyawa Setelah Digigit Ular](https://cdn.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/filters:format(webp):quality(100)/photo/2019/07/30/204710539.jpg)
Seorang Anggota Polisi Yang Bertugas di Papua Meregang Nyawa Setelah Digigit Ular
Tri mendapatkan laporan dari salah satu rekannya pada Sabtu (27/7/2019) malam.
Setelah diteliti, ular tersebut berjenis death adder dengan sifat neurotoksin yang hebat.
"Memang bentuknya kayak ular derik. Tapi bukan, namanya death adder. Sifatnya beda, neurotoksinnya amat sangat kuat sekali. Menyebabkan gagal napas, gagal jantung, sehingga tingkat kematian tinggi," kata Tri, Selasa (30/7/2019) sore.
Satu-satunya dokter dari Indonesia yang turut dalam tim pembuat pedoman penanganan gigitan ular berbisa dari lembaga kesehatan dunia atau WHO ini menuturkan, bisa ular jenis death adder tidak menyebar melalui aliran darah, melainkan kelenjar getah bening.
Bisa ular bekerja dengan cara memblok saraf-saraf dalam tubuh, sehingga dapat terjadi kelumpuhan otot yang didukung oleh syaraf tersebut.
Penanganan pertama atau first aid korban gigitan ular death adder menjadi satu hal penting guna mengurangi potensi keparahan yang muncul akibat bisa ular.
Penanganan First aid dapat dilakukan dengan immobilisasi atau memperkecil gerakan bagian tubuh yang terkena gigitan.
Presiden Toxinology Society of Indonesia ini menegaskan, memijit bagian tubuh yang terkena gigitan dengan tujuan mengeluarkan bisa ular hanya akan memperparah keadaan.
"Karena bisa ular tidak lewat pembuluh darah, jadi kalau dikeluarkan darahnya itu tidak akan mengeluarkan venomnya. Ya venomnya tetap nyebar, korban bisa mati," ujar Tri.
"Tapi venomnya lewat kelenjar getah benging, yang harus dilakukan untuk tidak menyebarkan, dilakukan immobilisasi, dibuat tidak bergerak (bagian tubuh yang tergigit atau meminimalkan gerak anggota tubuh yang tergigit), dan untuk neurotoksin ditambahin pressure bandage," lanjut dia.
Tri menjelaskan, terdapat dua kegunaan pressure bandage immobilisasi.
Pertama, pressure compresses lymphatic drainage untuk melambatkan absorbsi venom dalam mikrosirkulasi.
Selain itu, dapat menginhibisi gross muscle movement yang menurunkan intrinsik local pressure dari stimulasi lymphatic dari stimulasi lymphatic drainage.
"Kalau imbolisasi saja maka hanya menginhibisi gross muscle movement yang menuntukan intrinsik local pressure dari stimulasi lymphatic drainage," papar Tri.
Perlu digaris bawahi, first aid yang salah menyebabkan kondisi korban masuk ke fase yang menjadikan organ tubuh rusak dan membutuhkan antivenom.
Tri menyampaikan, anti venom (obat penawar) ular jenis ini belum diproduksi di Indonesia, melainkan hanya dibuat di Australia.
"Harganya mahal, sekitar Rp 80-an juta satu vialnya. Saya pernah membei antivenom death adder. Prosedur impor pun tidak mudah, harus mengurus ijin impor dulu yang bisa membutuhkan waktu 3 hingga 6 bulan," tutur Tri.
Tri menjelaskan, ular death adder banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Papua dan Maluku.
"Saya pernah menemuinya (ular death adder) dari daerah Jayapura, Manokwari, Sorong, Timika. Itu di mana-mana (ditemukan). Di hutan, rumah, jalan, atau sungai," ujar Tri.
Kini jenazah almarhum Bripka Desri Sahroni pun telah dimakamkan di kampung halamannya di Salido, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Jenazah dimakamkan dengan upacara kedinasan Selasa (30/7/2019) pukul 11.00 WIB.
(*)