Laporan Wartawan GridHot.ID, Siti Nur Qasanah
GridHot.ID -Presiden ketiga Republik Indonesia, BJ Habibie dikabarkan meninggal dunia pada usia 83 tahun di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (11/9/2019).
Dikutip dari Kompas.com, putra BJ Habibie, Thareq Kemal Habibie mengonfirmasi terkait meninggalnya sang ayah.
"Dengan sangat berat, mengucapkan, ayah saya Bacharudin Jusuf Habibie, Presiden ke-3 RI, meningal dunia jam 18.05 WIB," ujar Thareq di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Thareq mengatakan, ayahnya meninggal dunia karena sudah berusia tua sehingga sejumlah organ dalam tubuhnya mengalami degenerasi. Salah satunya adalah jantung.
Semasa hidupnya, Habibie banyak berjasa untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan untuk Aceh, Habibie dianggap sangat berjasa karena telah mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM) yang sempat membuat rakyat menderita.
Namun ternyata ada hal lain yang didukung oleh Habibie meski sampai kini belum terwujud, yaitu potong tangan untuk koruptor di Aceh.
Dukungan Habibie ini pernah diberitakan Harian Serambi Indonesia pada tahun 2016.
Diwartakan Serambinews.com, bentuk dukungan yang diberikan Habibie adalah dengan cara menandatangani risalah penelitian tentang pidana potong tangan bagi koruptor yang dilakukan oleh Ketua Lembaga Konsultasi dan Mediasi Bersama (LKMB), Muchsin Bani Amin.
Muchsin Bani Amin menjelaskan, penelitian tersebut sudah dilakukannya sejak 2011.
Selama itu pula, dia melakukan jajak pendapat terhadap 400 tokoh lokal dan nasional, salah satunya Habibie.
"Saya langsung mendatangi kediaman Pak Habibie untuk meminta pendapat dan dukungannya,” kata pria asal Desa Padang Kasap, Kecamatan Plimbang, Bireuen, pada2 Januari 2016 silam
Dukungan tersebut disampaikan para tokoh dan lembaga dalam bentuk tanda tangan langsung dan tertulis yang dia pilih secara acak.
Selama melakukan penelitian, Muchsin sudah menemui sekitar 150 tokoh dan beberapa lembaga di Aceh.
Baca Juga: DPR Tetapkan Firli Bahuri Sebagai Ketua KPK yang Baru, Saut Situmorang Langsung Mundur dari KPK
Sementara ditingkat nasional dirinya berhasil menjumpai 250 orang. Jajak pendapat tersebut juga diminta kepada semua pemuka agama di Indonesia.
"Sebanyak 400 koresponden saya telah mendukung hukuman potong tangan bagi koruptor. Penelitian ini saya lakukan atas inisiatif sendiri dan biaya sendiri. Hasil penelitian ini sudah saya berikan kepada Gubernur Aceh melalui asistennya beberapa waktu lalu,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala saat itu.
Muchsin menyatakan, dorongan dirinya melakukan jejak pendapat karena tidak sanggup melihat merajalelanya para koruptor di Indonesia.
Saat itu, katanya, perkara korupsi sudah berada di titik nadir.
Oleh karenanya, dirinya terdorong melakukan jejak pendapat terkait pidana potong tangan terhadap koruptor untuk kemudian diserahkan kepada Gubernur Aceh dan DPRA.
"Meunyoe broek eungkot jet taboh sira, tapi nyoe sira kabroek, peu yang akan taboh (jika ikan busuk bisa kita kasih garam, tapi jika garamnya sudah busuk apa yang akan kita bubuhkan)," ujarnya.
"Sekarang yang membuat hukum adalah DPR, tapi mereka yang banyak menjadi koruptor. Begitu juga dengan hakim, jaksa, dan polisi, termasuk pejabat dan kelompok partai politik," sambungnya.
Dia mengatakan, korupsi sulit akan dihilangkan jika negara masih memberlakukan aturan yang diciptaan oleh manusia.
Namun apabila hukum Tuhan diterapkan, maka perilaku korupsi akan hilang.
"Kalaupun kita lihat di Cina koruptor dihukum mati, itu karena kepanikan karena tidak ada dasar. Kalau kita ada dasar Surat Al Maidah ayat 38 yang menegaskan bahwa pencuri laki-laki dan pencuri perempuan dihukum dengan hukum potong tangan,” ungkapnya.
Dia berharap, dengan adanya hasil penelitian itu Pemerintah Aceh dan DPRA dapat menjajaki untuk merancang dan melahirkan qanun potong tangan bagi koruptor.
Menurutnya, Qanun Jinayah memang sudah ada di Aceh, tapi tak ada pidana potong tangan bagi koruptor di dalamnya.
"Saya minta pada saat penyerahan hasil ini nanti agar diundang semua koresponden dan bupati serta wali kota se-Aceh,” pungkas Muchsin.
Secara terpisah, anggota DPRA dari Partai PKS, Bardan Sahidi, memberikan apresiasi atas upaya atau ijtihad yang dilakukan Ketua Lembaga Konsultasi dan Mediasi Bersama (LKMB), Muchsin Bani Amin.
Bardan Sahidi meminta pemerintah harus menindaklanjuti hasil penelitian itu untuk diformalkan menjadi aturan, apakah diqanunkan atau dipergub.
"Kalau diqanunkan bisa diusulkan melalui Pemerintah Aceh atau bisa menghubungi langsung fraksi di DPRA," kataBardan Sahidi pada 12 Januari 2016 silam.
"Kemudian nantinya fraksi akan memasukkan usulan tersebut dalam Program Legislasi Aceh (Prolega) komulatif terbuka apabila sifatnya mendesak dan penting. Ijtihat itu akan bermakna jika dilegalkan secara formal,” tambahnya.
Dia mengungkapkan sangat setuju dengan usulan Muchsin Bani Amin, karena kondisi korupsi di Indonesia sudah sekarat.
Kendati demikian, saat ini sudah memiliki beberapa qanun untuk memperkuat penegakan syariat Islam di Aceh seperti Qanun Jinayah dan Qanun Pembagian Kewenangan Pelaksanaan Syariat Islam Antara Pemerintah Aceh dan Kabupaten Kota.
(*)