Laporan Wartawan Gridhot.ID, Candra Mega
Gridhot.ID -Pihak kepolisian sudah menemukankeberadaan Veronica Koman, tersangka provokasi kerusuhan Papua.
Seperti yang sudah diwartakan Gridhot.ID,Veronica Koman berada di Australia bersama suaminya.
"Diduga tersangka VK ada di Australia, karena suaminya warga Australia," jelas Wakapolda Jatim Brigjen Toni Harmanto usai mendatangi kantor Konjen Australia di Surabaya, Rabu (11/9/2019).
Pihaknya mengaku aktif membangun komunikasi dengan Konjen Australia di Surabaya dalam urusan pemenuhan syarat administrasi hubungan internasional terkait upaya hukum Veronica.
Pemerintah Australia disebut tidak akan mencampuri urusan hukum di Indonesia terkait Veronica.
"Pada prinsipnya, pemerintah Australia tidak akan mencampuri masalah hukum di Indonesia," kata Ketua Tim Penyidikan Kasus Papua ini.
Namun, desakan agar pemerintah Indonesia mencabut perkara yang menjerat aktivis HAM Veronica justru datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dikutip dari Kompas, para ahli Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) justru mendesak pemerintah Indonesia mencabut kasus Veronica sekaligus , memberikan perlindungan terhadapnya.
"Kami mempersilakan pemerintah mengambil langkah terhadap insiden rasisme, tetapi kami mendorong agar pemerintah segera melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi," kata para ahli seperti dikutip dari laman OHCHR, Rabu (18/9/2019).
"Dan mencabut segala kasus terhadap dia (Veronica) sehingga dia dapat kembali melaporkan situasi mengenai HAM di Indonesia secara independen," kata mereka.
Para ahli diketahui bernama Clement Nyaletsossi Voule dari Togo, David Kaye dari Amerika Serikat, Dubravka Šimonovi dari Kroasia, Meskerem Geset Techane dari Etiopia, dan Michel Forst dari Perancis.
Kelima ahli itu sekaligus ingin agar polisi mencabut paspor Veronica, memblokir rekening, dan meminta Interpol menerbitkan red notice turut menjadi perhatian mereka.
Dalam keterangan tertulisnya, OHCHR mendorong pemerintah Indonesia untuk memperhatikan hak-hak peserta aksi serta memastikan layanan internet tetap tersedia di Papua dan Papua Barat.
Sebab, pembatasan layanan internet maupun penggunaan kekuatan militer yang berlebihan dinilai tak akan menyelesaikan masalah.
Para ahli menganggap pembatasan kebebasan berekspresi itu dapat membahayakan keselamatan para aktivis HAM untuk melaporkan dugaan pelanggaran.
"Secara umum, pembatasan internet dan akses terhadap informasi memiliki dampak yang merugikan terhadap kemampuan berekspresi seseorang, serta untuk membagikan dan menerima informasi," demikian tertulis dalam sikap mereka.
"Di sisi lain, akses terhadap internet berkontribusi untuk mencegah terjadinya disinformasi serta memastikan transparansi dan akuntabilitas," kata mereka.
Kelima ahli tersebut pun sekaligus menyambut baik ketika pemerintah mulai membuka akses internet di sejumlah daerah di Papua pada 4 September 2019.
Polda Jawa Timur menolak segala bentuk diintervensi dalam penanganan kasus yang menjadikan pengacara dan aktivis, Veronica sebagai tersangka.
Kepala Bidang Humas Polda Jatim Kombes Frans Barung Mangera menegaskan bahwa hukum Indonesia memiliki kedaulatan sendiri sehingga tidak dapat diintervensi.
"Enggak ada intervensi. Hukum di Indonesia mempunyai kedaulatan sendiri," ujar Barung ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (18/9/2019).
Tidak hanya itu, kata Barung, polisi akan segera menerbitkan daftar pencarian orang (DPO) untuk Veronica.
Jika Veronica tidak memenuhi panggilan untuk diminta keterangan hingga Rabu (18/9/2019), Barung menuturkan, polisi akan menerbitkan DPO pada minggu depan.
"Mungkin minggu depan, sampai hari ini yang bersangkutan belum menghadap," tuturnya.
Pasalnya, Ditreskrimsus Polda Jatim sudah memberi waktu hingga 18 September 2019 kepada Veronica untuk menghadiri pemeriksaan di Mapolda Jatim.
Diketahui, Veronica ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur atas tuduhan menyebarkan hoaks dan provokatif kerusuhan Papua dan Papua Barat.
Veronica dijerat sejumlah pasal, antara lain UU ITE, UU KUHP pasal 160, dan UU Nomor 40 Tahun 2008.
(*)