Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID - Pada Selasa (1/10/2019) DPR RI baru saja melakukan pelantikan anggota baru.
Sebanyak 711 anggota DPR dan DPD dilantik untuk menjadi wakil rakyat peirode 2019-2024.
Namun demkian, usai diadakannya pelantikan, anggota DPR dan DPD baru ini sudah menjadi sorotan publik.
Pasalnya Anggota DPR RI baru saja dilantik dan diambil sumpahnya sebagai anggota dewan sudah mulai tak bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Hal ini terbukti dari absennya hampir separuh anggota saat mengikuti rapat paripurna yang beragendakan pelantikan Pimpinan DPR Selasa (1/10/2019).
Melansir dari Kompas.com, dari 711 anggota DPR dan DPD, hanya 285 anggota yang hadir berdasar absensi yang dibacakan saat pembukaan sidang.
Sementara dikabarkan dari Fotokita.Grid.ID, bahkan satu pimpinan sementara MPR, Sabam Sirait, yang harusnya memimpin jalannya sidang, juga ikut absen.
Akhirnya sidang hanya dipimpin oleh satu pimpinan, yakni Hillary Brigitta Lasut, yang menjadi anggota termuda DPR.
Hal itu membuat perdebatan terkait keabsahan sidang.
Akhirnya sidang sempat diskors sementara untuk melakukan rapat konsultasi antar fraksi.
Adapun agenda sidang paripurna hari ini juga untuk memilih pimpinan MPR.
Berdasarkan Undang-Undang MPR, DPR, dan DPD yang baru direvisi, pimpinan MPR berjumlah 10 orang.
Jumlah itu terdiri dari perwakilan 9 fraksi dan satu unsur DPD.
Artinya setiap fraksi akan mendapat jatah kursi pimpinan.
Setiap fraksi akan menyerahkan nama anggotanya yang akan diusulkan menjadi pimpinan MPR.
Hasil dari rapat ini akan memilih satu orang menjadi ketua MPR.
Ternyata hal ini sudah bukan suatu yang mengherankan lagi.
Pasalnya anggota DPR memang tidak memiliki kewajiban menghadiri rapat Senayan.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang MD3 dan Tata Tertib DPR tahun 2014, tidak ada satu poin pun keterangan yang menunjukkan kewajiban DPR hadir dalam rapat.
Meskipun begitu, dalam pasal 124 ayat (1) a UU MD3, ketidakhadiran anggota DPR dalam rapat yang menjadi tanggung jawabnya masuk dalam kategori pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan.
“Pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan adalah pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR berupa ketidakhadiran dalam rapat DPR yang menjadi kewajibannya,” bunyi sebagian pasal tersebut.
Penanganan pelanggaran tersebut nantinya akan ditangani oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.
Jika berdasarkan pada keterangan yang dikemukakan, terdapat berbagai alasan yang melatarbelakangi mengapa agenda rapat sering tidak dipenuhi oleh kehadiran anggota-anggota dewan.
Menanggapi hal tersebut, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kuskridho Ambardi mengatakan kehadiran anggota DPR di Rapat Paripurna penting untuk menandai keseriusan mereka dalam bekerja.
Rapat paripurna, menurut Dody, sebetulnya hanya ujung dari proses panjang perumusan undang-undang. Sifatnya hanya simbolik.
"Meskipun sifatnya hanya simbolik, tapi menjadi sorotan publik karena menandai sebuah periode baru. Jadi kehadiran mereka itu penting untuk sekedar menunjukkan keseriusan mereka menjadi wakil rakyat," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (2/1/2019).
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa ketidakhadiran dari anggota DPR sudah menjadi kebiasaan.
"Tapi, kalau melihat sejarah panjang kehadiran anggota DPR dalam sidang pleno, nampaknya kebiasaan absen itu sangat biasa. Ada problem etis dalam kultur DPR," paparnya.
Selain itu, Dody juga menambahkan bahwa ketidakhadiran tersebut akan terus berulang dan dianggap normal.
Walaupun telah disorot media, menurut Dody, hal itu tidak berpengaruh.
Lantaran tidak ada sanksi politik dan sanksi sosial yang diberikan kepada anggota dewan yang secara sengaja tidak hadir.
Dody menyarankan agar anggota dewan yang "bolos" untuk diberikan sanksi sosial. "Bila denda, mungkin tidak akan berpengaruh.
Sebab, gaji mereka (anggota DPR) besar dan bahkan sebagian dari mereka tidak memerlukan gaji," papar dia.
"Sanksi sosial mungkin lebih bagus. Dimulai dari mempublikasi nama yang tidak hadir, dan datanya dapat diakses oleh publik," katanya lagi.(*)