GridHot.ID- Setiap peperangan yang berlangsung di berbagai negara seperti di Irak dan Suriah, sebenarnya selalu dianalisis oleh para ahli TNI.
Hasil analisis itu kemudian dibahas dalam Rapat Pimpinan TNI (Rapim TNI) yang berlangsung setiap tahun.
Dalam Rapim TNI, selain membahas peperangan terkini yang baru saja terjadi, juga selalu dibuat skenario, bagaimana seandainya Indonesia diserang oleh negara lain.
Tak sekadar membuat skenario, anggota rapat juga membuat simulasi berupa strategi dan taktik militer yang akan dilakukan.
Biasanya jawaban dari skenario hasil simulasi itu adalah, jika Indonesia harus berperang maka 'jawabannya' diwujudkan dalam bentuk latihan-latihan perang yang digelar TNI sepanjang tahun sesuai anggaran yang tersedia.
Namun demikian, pada Rapim TNI, Indonesia jarang sekali mengandaikan jika salah satu wilayahnya suatu saat mendapat gempuran rudal balistik sertabagaimana cara menanggulanginya.
Pasalnya, hingga kini Indonesia memang belum memiliki persenjataan antirudal seperti yang dimiliki oleh Singapura, yakni Aster-30 buatan Prancis, Barak 1 dan Iron Dome buatan Israel, dan lainnya.
Pelajaran dari Perang Teluk, Perang Suriah, dan juga peperangan di Afganistan menunjukkan bahwa negara yang tidak memiliki pertahanan sistem rudal akan kewalahan ketika mendapat gempuran rudal dalam jumlah besar.
Sebab, serangan menggunakan rudal merupakan penerapan peperangan asimetris, di mana pihak penyerang melakukan serangan dari jarak jauh ke target musuh dan tanpa terdektesi keberadaannya.
Jika pihak yang diserang tidak memiliki rudal balistik untuk membalasnya, maka persenjataan dan pasukan yang terlatih di negara yang menjadi target gempuran rudal hanya akan menjadi korban tanpa bisa melakukan serangan balasan.
Oleh karena itu, seandainya Indonesia sampai digempur rudal balistik oleh musuh, Indonesia akan menjadi negara yang benar-benar tidak berdaya karena sama sekali tidak memiliki pertahanan antirudal.
Ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke Rusia pada bulan Mei 2016 untuk bertemu dengan Presiden Vladimir Putin, ketertarikan Indonesia untuk memiliki persenjataan antirudal buatan Rusia sebenarnya sudah disampaikan.
Rudal yang 'ditaksir' Presdien Jokowi merupakn jenis yang canggih, yakni S-200 dan S-400.a
Khusus S-400, bahkan merupakan rudal balistik yang bisa digunakan untuk menghantam sasaran apa saja hingga jarak 400 km.
Apalagi jika jumlah peluncur dan rudalnya banyak, S-400 bisadigunakan untuk menghantam 40 sasaran sekaligus.
Diketahui, rudal S-400 merupakan rudal balistik yang paling ditakuti AS karena bisa merontokkan jet tempur siluman dengan mudah.
Oleh karenanya ketika Turki memutuskan untuk membeli rudal S-400 Rusia, AS yang selama ini enggan menjual jet tempur F-35 ke Turki jadi kelabakan.
Pasalnya rudal-rudal S-400 Turki bisa merontokkan F-35.
Seandainya saja dalam Rapim TNI ancaman serangan rudal balistik menjadi tantangan yang harus dijawab, maka kepemilikan rudal balistik bagi Indonesia memang tidak bisa dielakkan.
Apalagi Indonesia memiliki banyak pulau yang bisa digunakan untuk menjadi pangkalan rudal.
Jadi selain untuk kepentingan mempertahankan diri dalam upaya mengantisipasi perang asimetris, berkatkepemilikan rudal jarak jauh, detterent effeck Indonesia juga meningkat sekaligus bisa mencerminkan negara yang sakti mandraguna.
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul "S-400, Rudal Serba Guna yang Seharusnya Dimiliki Oleh Indonesia Demi Tunjukkan bahwa Negara Ini Sakti Mandraguna"
(*)