Laporan Wartawan Gridhot.ID, Candra Mega
Gridhot.ID-Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dimakzulkan DPR AS, Rabu (18/12/2019).
Dikutip dari Kompas, mayoritas anggota DPR AS menyetujui dua pasal pemakzulan terhadap Donald Trump.
Dua dakwaan pemakzulan yang dijeratkan terhadap Trump, yakni penyalahgunaan kekuasaan dan menghalangi Kongres AS.
Voting digelar oleh DPR AS di Gedung Capitol, Washington DC pada Rabu (18/12/2019) waktu setempat.
Trump pun menjadi presiden ketiga setelah Andrew Johnson (1868), dan Bill Clinton (1998) yang dimakzulkan di level DPR AS.
Dalam konferensi pers pasca-pemungutan suara, Ketua Komite Yudisial Jerry Nadler mengatakan, Trump memang layak dimakzulkan.
Iamenjelaskan, presiden ke-45 AS tersebut secara nyata sudah menampilkan bahaya nyata bagi sistem pemilihan dan pembagian kekuasaan di AS.
"Seorang Presiden AS tidak diperkenankan untuk menjadi diktator," ucap Nadler dalam keterangannya sebagaimana diberitakan BBC.
Trump menjalani sidang pemakzulan buntut percakapan teleponnya dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada 25 Juli lalu.
Dalam percakapan itu, Trump dituduh menekan Zelensky guna menyelidiki Joe Biden, calon rivalnya dalam Pilpres AS 2020 mendatang.
Pemakzulan Trump mengingatkan ancaman impeachment terhadap Jokowi, Presiden ke-7 RI yang disampaikan sejumlah tokoh politik, di antaranya Fahri Hamzah.
Saat masih menjabat Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengingatkan Jokowi untuk berhati-hati dalam bersikap, terkait persoalan hukum yang menjerat pimpinan KPK.
Fahri menilai, saat ini Presiden mendapatkan masukan-masukan dari orang yang salah, dan selalu diseret untuk mengintervensi, jika pimpinan KPK tersandung dalam kasus hukum.
"Sekarang minta Presiden intervensi kepolisian. Hati-hati Pak Jokowi, Anda bisa masuk ke pasal impeachment (pemakzulan). Dari awal sudah diseret, tolong sekarang jangan mau diseret," ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (14/11/2017) seperti dikutip Gridhot.ID dari Warta Kota.
Menurut Fahri, dalam waktu 19 tahun sudah terbangun sistem hukum yang baik di Indonesia.
Namun kenyataanya, jika ada yang melaporkan oknum atau pun pimpinan KPK ke pihak penegak hukum, langsung dianggap pasti antek koruptor.
"Kartu truf-nya, langsung datang ke Presiden. Tanpa disadari Presiden telah diseret pada intervensi hukum, harusnya apa yang terjadi jalan saja, kenapa tidak percaya penyidik, penuntut, pengadilan? Ini tidak benar dan harusnya jalan saja," tutur Fahri.
Fahri menilai, KPK terlalu dalam mencampuri urusan Presiden, dimana awal menjabat sudah memberikan laporan berupa nilai terhadap nama-nama calon menteri yang akan ditunjuk Jokowi untuk mengisi kabinetnya.
"KPK mencoret daftar nama kabinet awal, ada yang pakai tanda merah, hijau, kuning, sehingga Presiden tidak bisa menggunakan hak prerogatifnya," papar Fahri.
Syarat Impeachment di Indonesia
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris meminta Jokowi untuk tak khawatir dengan narasi pemakzulan.
Jokowi tak usah khawatir dimakzulkan hanya karena menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
"Presiden tidak perlu khawatir dengan ancaman banyak pihak, ada yang menghubungkan penerbitan perppu KPK itu dengan impeachment, dengan apa namanya pemecatan atas presiden," kata Syamsuddin, Minggu (6/10/2019).
Syamsuddin menegaskan, bahwa narasi itu tidak tepat.
Ia menganggap, pihak-pihak yang menyebarkan isu tersebut tak memahami konstitusi.
"Konstitusi kita itu sangat jelas prosedur pemberhentian presiden mesti ada pelanggaran hukum," ujarnya.
Baca Juga: Baru Sebulan Sandang Gelar Kapolri, Idham Aziz Kini Terancam Dicopot Jokowi, Ini Alasannya
Penelusuran Warta Kota, Syamsuddin Haris pernah menulis cuitan di akun Twitter terkait pelanggaran hukum yang bisa berujung impeachment.
Cakupan pelanggaran hukum yg dimaksud Pasal 7B ayat (1) UUD 1945.
Pelanggaran hukum yang bisa di-impeachment adalah:
1. Pengkhianatan terhadap negara
2. Korupsi
3. Penyuapan
4. Tindak pidana berat lain atau perbuatan tercela
5. Presiden/Wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wapres.
Syamsuddin juga menuturkan, penerbitan perppu merupakan kewenangan presiden jika merasa ada kepentingan yang memaksa.
Menurut Syamsuddin, ada tiga opsi jika Presiden Jokowi ingin menerbitkan perppu KPK.
Pertama, perppu yang membatalkan UU KPK hasil revisi.
Kedua, perppu yang menangguhkan implementasi UU KPK hasil revisi dalam jangka waktu tertentu, agar UU KPK hasil revisi bisa diperbaiki.
"Dan ketiga yang isinya menolak atau membatalkan sebagian pasal bermasalah yang disepakati antara DPR dan pemerintah. Poin saya, apabila presiden misalnya takut dengan pilihan pertama, beliau bisa pilih yang lain," katanya.
Dalam kesempatan itu, Syamsuddin juga menilai ada yang waktu yang tepat bagi Presiden untuk menerbitkan perppu KPK Menurut Syamsuddin, titik tolaknya adalah 17 Oktober 2019.
(*)