Gridhot.ID - Tragedi jatuhnya Lion Air JT 610 pada pertengahan 2018 lalu masih membekas di masyarakat Tanah Air.
Tragedi maut tersebut menewaskan seluruh penumpang beserta awak kabin yang ada di dalam pesawat.
Hal ini terkait jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta - Pangkal Pinang pada Senin (29/10/2018) pagi.
Karena kecelakaan ini, seluruh penumpang dan awak kabin yang berjumlah 189 orang dilaporkan tewas.
Evakuasi masih dilakukan. Beberapa potongan tubuh korban, potongan pesawat, hingga black box sudah ditemukan.
Belum selesai duka keluarga korban Lion Air JT 610, terjadi kecelakaan kecil yang menimpa pesawat Lion Air lainnya.
Pada Rabu (7/11/2018) malam, pesawat Lion Air JT 633 rute Bengkulu – Jakarta menyenggol tiang listrik di Bandara Fatmawati, Bengkulu sekitar pukul 19.00 WIB.
Tidak ada korban dalam kejadian ini. Namun kejadian ini sudah menjadi viral di sosial media.
Dua kejadian ini membuat beberapa orang merasa takut untuk naik pesawat. Walau sebenarnya, kita semua tidak menginginkan namanya kecelakaan.
Kita bisa menyebut dua kecelakaan tersebut musibah dan kita semua tidak pernah ingin menginginkannya.
Memang kemungkinan selamat dari sebuah kecelakaan pesawat cukup kecil angkanya. Namun tidak ada yang tidak mungkin.
Contohnya kecelakaan pesawat di bawah ini.
Enam belas tahun yang lalu, tepatnya pada 16 Januari 2002, pesawat Boing 737-700 milik maskapai Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA421 melakukan ditching atau mendarat di atas air.
Dilansir dari kompas.com pada tahun 2017, pesawat ini mendapat di anak sungai Bengawan Solo.
Penyebab pendaratan darurat tersebut dikarenakan kedua mesin pesawat mati saat ingin menembus badai hujan dan es.
Saat itu, pesawat dengan rute Lombok – Yogyakarta tersebut membawa 54 penumpang dan enam orang awak kabin.
Adakah korban?
Seluruh penumpang selamat karena pilot, Kapten Abdul Rozak, berhasil mendaratkan pesawat dengan baik. Namun satu awak kabin ditemukan tewas. Diduga akibat benturan saat pesawat mendarat.
Menurut laporan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), GA421 dijadwalkan terbang dari Selaparang, Mataram, pada pukul 15.00 WITA.
Pesawat B737-300 registrasi PK-GWA yang dipiloti oleh Kapten Abdul Rozak itu kemudian menuju ketinggian jelajah 31.000 kaki.
Pesawat dijadwalkan tiba di Yogyakarta sekitar pukul 17.30 WIB.
Namun saat meninggalkan ketinggian jelajah untuk turun ke bandara Adisutjipto, di atas wilayah Rembang, kapten Rozak memutuskan untuk sedikit menyimpang dari rute seharusnya, atas izin ATC.
Hal itu dilakukan karena di depan terdapat awan yang mengandung hujan dan petir. Kru pesawat mencoba untuk terbang di antara dua sel awan badai.
Sekitar 90 detik setelah memasuki awan yang berisi hujan, saat pesawat turun ke ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi mesin dalam posisi idle, kedua mesin tiba-tiba mati dan kehilangan daya dorong (thrust).
Pilot dan kopilot pun saat itu mencoba untuk menghidupkan unit daya cadangan (auxiliary power unit/APU) untuk membantu menyalakan mesin utama, tetapi tidak berhasil.
Ketika pesawat sampai di ketinggian 8.000 kaki, dan kedua mesin belum berhasil di-restart, pilot melihat alur anak sungai Bengawan Solo dan memutuskan untuk melakukan pendaratan di sana.
Pesawat pun melakukan ditching tanpa mengeluarkan roda pendaratan maupun flaps (menjulurkan sayap).
Setelah dilakukan pemeriksaan, ada kerusakan di hidung dan mesin pesawat.
Peristiwa itu pembelajaran penting untuk dunia penerbangan, khususnya pabrikan mesin pesawat, cara membaca radar, dan pelatihan mendaratkan pesawat di atas air.
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Kisah Mendebarkan saat Pesawat Garuda Indonesia GA421 Lakukan Pendaratan Darurat di Atas Sungai Bengawan Solo.
(*)