Laporan Wartawan Gridhot, Desy Kurniasari
Gridhot.ID - Pandemik virus corona hingga kini masih menjadi perhatian di seluruh dunia.
Asal muasal munculnya virus corona masih diperdebatkan.
Mulanya, virus corona atau covid-19 ini diklaim berasal dari pasar seafood di Wuhan, Provinsi Hubei, China.
Melansir Kompas.com, sempat beredar sejumlah pemberitaan yang menyatakan bahwa penyebaran virus corona ini diduga memiliki keterkaitan dengan aktivitas sejumlah masyarakat dalam mengonsumsi satwa liar.
Adapun satwa liar tersebut di antaranya adalah tikus, kelelawar, karnivora, dan primata.
Meskipun masih terdapat polemik mengenai perihal penyebab pasti dari virus corona, baik pakar maupun otoritas kesehatan terus bergerak untuk melakukan penelitian lanjutan maupun penanganan terkait virus ini.
Sebagai contoh pada hewan kelelawar, terdapat tiga jenis kelelawar, yakni pemakan serangga, penghisap darah, dan pemakan buah.
Ketiga jenis kelelawar tersebut sama-sama bertindak sebagai perantara penyakit sehingga tak disarankan untuk dikonsumsi manusia.
Sementara itu, dilansir dari Sosok.ID, beberapa ilmuwan ternyata menyangsikan hal tersebut.
Justru manusialah penyebab adanya virus corona.
Perilaku manusia seperti penggundulan hutan, ditambah dengan perpindahan manusia yang terjadi dengan cepat setiap hari, telah membuat penyakit yang dulunya tersimpan di alam liar pindah untuk mencari inang baru.
Sampai saat ini ilmuwan masih tidak yakin dari mana sebenarnya virus Corona berasal.
Pertanyaan itu hanya bisa terjawab dengan mengisolasi virus yang hidup di spesies yang dicurigai telah menjadi sumber kehidupan virus tersebut.
Pertanyaan mendasar adalah bagaimana penyakit yang dianggap berasal dari kelelawar bisa kemudian menjadi pandemi bagi manusia?
Kelelawar adalah satu-satunya mamalia yang bisa terbang, memperbolehkan mereka tersebar dalam jumlah yang besar dari satu komunitas ke wilayah yang lebih luas lagi.
Artinya, kelelawar dapat membawa patogen atau penyakit dalam jumlah yang besar.
Saat mereka terbang, aktivitas tubuh mereka menyebabkan kondisi mereka mencapai suhu tubuh yang tinggi, seperti demam.
Kondisi tersebut terjadi setidaknya dua kali sehari untuk kelelawar.
Oleh sebab itu, patogen seperti virus yang telah berevolusi di kelelawar telah beradaptasi dengan suhu tubuh yang tinggi seperti itu.
Hal tersebut membuat Andrew Cunningham, pakar epidemiologi kehidupan liar di London, merasa khawatir ketika penyakit yang ada di kelelawar pindah ke spesies lain.
Contohnya di manusia, demam adalah mekanisme pertahanan tubuh berupa suhu tubuh meningkat untuk membunuh virus.
Namun jika virus tersebut sudah terbiasa berada di tubuh kelelawar yang selalu panas, maka mekanisme demam di manusia mungkin tidak berdampak apa-apa untuk virus tersebut.
Lalu, mengapa terdapat loncatan inang dari hewan liar ke manusia?
Menurut Cunningham, hal tersebut berkaitan dengan apa yang disebut 'tumpahan zoonosis'.
Zoonosis adalah jenis penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia, utamanya hewan seperti kelelawar, anjing, atau kera.
Penyebab terjadi tumpahan zoonosis, hampir selalu, adalah akibat perilaku manusia sendiri.
Dijelaskan dari CNN, saat kelelawar stress karena diburu atau memiliki habitat yang dirusak akibat penggundulan hutan, sistem imunnya akan bereaksi dan lebih sulit mengatasi patogen yang menyerang kekebalan tubuh mereka.
Cunningham menyebut, "kami yakin jika dampak stress pada kelelawar akan mirip stress pada manusia."
"Akan terjadi peningkatan infeksi patogen yang kemudian dikeluarkan dan menyebar ke mana-mana."
"Hal ini seperti jika orang-orang stress dan memiliki virus radang flu, mereka akan menunjukkan gejalanya."
"Itulah yang disebut virus 'diekspresikan' yang bisa terjadi pada kelelawar juga."
Di pasar hewan liar Wuhan yang kini telah dibuka kembali, hewan liar disimpan dalam kandang yang sama dan dijual sebagai sumber makanan atau hewan peliharaan.
Jika hewan-hewan liar berkumpul bersamaan dan dalam kondisi stress maka virus bisa keluar dari tubuh mereka dan saling bercampur aduk.
"Jika mereka dikirim atau ditahan di kandang dalam sebuah pasar, berdekatan dengan hewan lain atau bahkan manusia, akan ada peluang virus-virus itu ditumpahkan dalam jumlah besar," jelas Cunningham.
Hewan lain di pasar tersebut juga lebih rentan dengan infeksi karena mereka juga stress dan tertekan.
"Manusia semakin sering memindahkan hewan, untuk pengobatan, untuk makanan, pada skala yang belum pernah dilakukan oleh manusia," ujar Kate Jones, pimpinan jurusan Ecology and Biodiversity di University College London.
"Kita juga menghancurkan habitat mereka menjadi lahan-lahan pertanian yang didominasi oleh manusia. Hewan saat ini bercampur dan berevolusi dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya."
"Sehingga, di pasar seperti pasar Wuhan, Anda bisa melihat hewan-hewan dicampur dan dikandangkan dalam 1 kandang meski mereka bukan hewan yang sama."
Selanjutnya, penyebab tumpahan zoonosis bisa menjadi pandemi adalah hal yang sederhana.
"Tumpahan virus dari hewan liar tentu pernah terjadi sebelumnya, tetapi orang yang mengalaminya mungkin telah meninggal atau sembuh sebelum berkontak dengan manusia lain di kota besar," ujar Cunningham.
"Saat ini dengan perpindahan manusia sangat mudah Anda bisa berada di hutan Afrika hari ini, dan di kota London besoknya."
Jones menambahkan, "tumpahan yang Anda mungkin miliki sebelumnya sekarang membesar berkali-kali lipat karena manusia jumlahnya sudah sangat banyak dan kita semua tersambung."
Dari ini dapat kita pelajari, kelelawar bukanlah hewan yang patut disalahkan.
Justru, dengan mempelajari pola loncatan virus ini dapat membantu kita mempelajari bagaimana menangani patogen ini.
Penyakit dari virus corona ini bisa bertahan lebih lama, karena manusia semakin bertambah banyak dan menyebar ke tempat-tempat yang awalnya tidak terjamah manusia.
Mengubah perilaku manusia akan menjadi langkah lebih mudah daripada mengembangkan vaksin baru setiap kali ada penyakit baru dari suatu virus.
Pandemi corona adalah pertanda pertama yang sangat jelas, jika kerusakan lingkungan dapat membunuh manusia dengan cepat.
Hal ini juga bisa terulang lagi di kemudian hari, jika manusia tidak mengubah perilakunya.
Jika merusak habitat alami adalah penyebab pandemi ini, maka perbaikan habitat alami adalah solusinya.
Pelajaran yang dapat kita ambil adalah kerusakan planet ini dapat juga berdampak sangat buruk kepada manusia, makhluk hidup yang merusak planet bumi.
"Sangat tidak diperbolehkan untuk menggunduli hutan menjadi lahan pertanian tanpa memahami dampaknya terhadap iklim, penyimpana karbon, gawat darurat penyakit dan risiko banjir," ujar Jones.
"Anda tidak bisa melakukannya begitu saja tanpa memikirkan dampaknya ke manusia." (*)