Gridhot.ID-Keputusan Presiden AS, Donald Trump akan rapat di Tulsa, lokasi bersejarah buruk bagi komunitas Afrika-Amerika menimbulkan kontroversi.
Dikutip dari USA Today, Tulsa merupakan salah satu tempat pembantaian orang kulit hitam terburuk dalam sejarah AS.
Keinginannya melangsungkan rapat setelah tiga bulan absen ini sontak mendapat kritikan pedas dari publik AS.
Apalagi saat ini Trump juga belum selesai dengan kecaman publik atas responsnya pada kerusuhan nasional dan kekerasan polisi.
Trump berencana mengunjungi Oklahoma pada 19 Juni mendatang, sebagai acara pertama dalam rangkaian kampanye besar.
Ini akan menjadi putaran pertamanya sejak acara di Charlotte, North Carolina pada 2 Maret silam.
Pasca protes nasional ini, Trump akan melakukan kampanye besar-besaran.
Sejak beberapa bulan lalu agendanya mangkrak karena pandemi Covid-19.
Tanggal 19 Juni atau Juneteenth, juga dikenal sebagai Hari Emansipasi.
Sekaligus memperingati perjalanan Mayor Jenderal Gordon Granger pada 1865, untuk memberi tahu penduduk bahwa Presiden Abraham Lincoln telah membebaskan para budak.
Selain itu juga mengumumkan pemilik budak harus mematuhi Proklamasi Emansipasi.
Tulsa merupakan kota terbesar kedua di Negara Bagian Oklahoma.
Bulan ini merupakan peringatan 99 tahun pembantaian besar-besaran komunitas kulit hitam atau Afrika-Amerika di Tulsa.
Insiden mengerikan ini terjadi pada 1921 silam, dimana orang kulit putih membantai orang-orang kulit hitam dan menghancurkan bisnis mereka.
Lokasi tepatnya berada di Distrik Greenwood yang dikenal sebagai Black Wall Street.
Diperkirakan 300 orang tewas serta rumah dan bisnis hancur.
Ketua Partai Demokrat Oklahoma, Alicia Andrews menilai Trump menunjukkan sikap yang rasis.
"(Trump) mengacungkan hidung pada masalah ketidakadilan rasial yang sebenarnya."
"Ada kata-kata pria, dan kemudian ada tindakannya," katanya.
"Dia datang ke sini pada tanggal itu, tanpa membuat jangkauan ke komunitas, dan mengatakan itu untuk persatuan, itu adalah tamparan di wajah," ujar Andrews.
Seorang anggota Kongres Kaukus Hitam menilai rapat Trump di Tusla adalah rasisme yang terbuka.
Menurutnya waktu dan tempat kampanye Trump sengaja direncanakan demikian oleh tim sukses presiden petahana itu.
Bisa jadi rencana ini dimaksudkan agar Trump bisa menggembar-gemborkan keberhasilannya bagi komunitas Afrika-Amerika.
Trump menghadapi kritik yang meningkat, termasuk dari Partai Republik atas responsnya terhadap gerakan Black Lives Matter.
Setelah kematian Floyd dan kemarahan yang memuncak padanya, Trump jadi irit bicara perihak ketidaksetaraan rasial.
Sebaliknya dia kini fokus pada pemulihan hukum dan ketertiban dan mengecam para penjarah di tengah protes.
Anggota pemerintahan Trump, termasuk Ketua Kepala Staf Gabungan Mark Milley turut tidak setuju dengan cara aparat membereskan para demonstran agar Trump bisa berjalan ke gereja.
Diketahui saat itu aparat melakukan berbagai tindakan represif seperti gas air mata hingga kekerasan lainnya demi membuka jalan untuk presiden.
Milley mengatakan pada Kamis lalu, bahwa dia telah membuat kesalahan menemani Trump dalam perjalanan.
Menyoal rencana di Tusla, Mechelle Brown yang merupakan koordinator program dan pemandu wisata untuk Greenwood Cultural Center di Tulsa mengatakan belum mendengar rencana kampanye Trump di sana.
Dia juga tidak berharap rencana itu benar terjadi.
"Masyarakat tidak merasa bahwa Trump benar-benar tertarik pada sejarah distrik Greenwood," kata Brown.
"Dan bahwa kunjungannya ke Tulsa selama Juneteenth, saat kita memperingati peringatan 99 tahun pembantaian itu, sangat menghina," tegasnya.
Brown mengatakan komunitas kulit hitam di Tulsa sangat cemas tentang rencana rapat umum Trump itu.
Di sisi lain penasihat kampanye Trump, Katrina Pierson mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kunjungan Trump ke Tusla sepenuhnya benar.(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul "Donald Trump Dikecam karena Ingin Rapat di Lokasi Pembantaian Orang Afrika-Amerika di Era 1921"