Pandangan Soeharto Terhadap Timor Timur: Duri di Mata Australia dan Duri di Punggung Indonesia

Sabtu, 19 September 2020 | 18:00
Istimewa via Tribunnews.com

Soeharto

GridHot.ID - Bergabungnya Timor Timur dengan Indonesia melewati keputusan yang tidak mudah.

Melansir The Strategist pada 28 Januari 2020, Australia menjadi negara yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut.

Hal itu diungkapkan dalam buku kebijakan Canberra, dari invasi hingga kemerdekaan, dipamerkan dengan dirilisnya catatan kabinet pemerintahan Howard untuk tahun 1998 dan 1999 oleh National Archives of Australia .

Diceritakan bahwa dalam pertemuan dengan Soeharto pada bulan September 1974, Gough Whitlam meninggalkan catatan peringatan yang menyatakan bahwa Timor Timur harus berintegrasi dengan Indonesia.

Baca Juga: Diiming-imingi Australia Proyek 'Tasi Mane', Timor Leste Kena Tipu Daya Negeri Kanguru hingga Terpuruk Pasca Merdeka, Kekayaan Alamnya di Eksploitasi dan Nasib Rakyatnya Makin Memprihatinkan

"Timor Portugis terlalu kecil untuk merdeka. Secara ekonomi tidak layak. Kemerdekaan tidak diinginkan di Indonesia, Australia, dan negara-negara lain di kawasan" ujarnya.

Menurut catatan laporan setebal 900 halaman itu, Whitlam menawarkan dua pemikiran dasar.

Pertama, dia percaya bahwa Timor Portugis harus menjadi bagian dari Indonesia.

Kedua, hal tersebut harus terjadi sesuai dengan keinginan rakyat Timor Portugis yang diungkapkan dengan baik.

Baca Juga: Mati-matian Jaga Keutuhan NKRI, Prabowo Subianto yang Berhasil Kepung Pasukan Nicolao Lobato Langsung Kokang Senjata, Hujani Si Presiden Fretilin dengan Timah Panas Hingga Terjadi Insiden Ini

Whitlam yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Australia menekankan bahwa ini belum menjadi kebijakan Pemerintah (Australia) tetapi kemungkinan besar akan menjadi seperti itu.

Sementara itu, diungkapkan bahwa Soeharto menjawab dengan pendapat lain.

Menurutnya, Timor Timur bisa menjadi 'duri di mata Australia dan duri di punggung Indonesia'.

Duta Besar Australia untuk Jakarta, Richard Woolcott, menulis bahwa Canberra harus memutuskan antara 'idealisme Wilsonian dan realisme Kissingerian'.

Baca Juga: Pimpinannya Tewas Duluan, 7 Prajurit ABRI Nyaris Tak Selamat Hadapi Gempuran Ratusan Milisi Fretilin, Untung Ada Pertolongan Ini

Sementara Duta Besar Australia di Portugal, Frank Cooper, mempertanyakan kerugian akibat mengorbankan Timor Lorosa'e ke Indonesia kepada Australia.

"Pertanyaan yang akan ditanyakan banyak orang bukanlah apakah kita dapat hidup dengannya tetapi apakah kita dapat hidup dengan diri kita sendiri," katanya.

Keinginan Whitlam agar Timor Leste bergabung dengan Indonesia dan tidak berdiri sebagai sebuah negara sendiri bukan tanpa alasan.

Kepala Urusan Luar Negeri, Alan Renouf, menulis bahwa Whitlam mengubah posisi Australia dengan mengadopsi kebijakan dua cabang ketika dua poin tidak dapat didamaikan.

Baca Juga: Kiprah Kelompok Musisi Bumi Lorosae, Jaga Eksistensi Lagu Perlawanan dari Zaman Kependudukan Indonesia, Berikut Kisah Perjuangannya

"Whitlam tentu tidak ingin ada lagi negara mini yang dekat denganAustralia di Asia Tenggara atau Pasifik Selatan. Karena itu, dia tidak menginginkan Timor Timur merdeka; merger dengan Indonesia adalah satu-satunya jawaban," ungkapnya.

Sementara itu, sebulan kemudian, mayor jenderal yang bertanggung jawab atas operasi khusus Indonesia menyatakan bahwa sampai kunjungan Whitlam ke Jakarta, mereka masih ragu-ragu tentang Timor.

Namun, dukungan Perdana Menteri Whitlam tentang gagasan penggabungan Timor ke Indonesia telah membantu mereka mengukuhkan pemikiran mereka sendiri dan menjadi sangat yakin akan hal tersebut.

Baca Juga: Dikirimi Sepucuk Surat PM Australia di Tengah Situasi Konflik Timor Leste, BJ Habibie Murka di Depan Menterinya hingga Lakukan Ini, 'Proses Instan' Referendum pun Terbongkar

Satu paralel antara era invasi dan kemerdekaan adalah peran perdana menteri Australia yang kuat yang mengubah pemikiran Jakarta tidak sesuai dengan yang dimaksudkan, dikutip dari The Strategist.

Ya, bukan hanya terkait kebijakan Indonesia untuk menginvansi Timor Leste, Australia akhirnya juga terlibat dalam lepasnya Timor Leste dari Indonesia, saat era Perdana Menteri John Howard.

Dari Perdana Menteri Whitlam hingga Howard memiliki persamaan, yaitu kebijakan Australia adalah bahwa Timor Lorosa'e harus menjadi bagian dari Indonesia.

Baca Juga: Selalu Tuding Bumi Lorosae Punya Utang Budi ke Negaranya, Nyatanya Australia lah yang Justru Bersifat Bak'Kacang Lupa Kulitnya', Tak Anggap Rakyat Timor Pernah Selamatkan Negeri Kanguru dari Agresi Jepang

Namun, apa perbedaannya?

Menurut catatan, pada bulan Desember 1998, Howard menulis kepada Presiden Indonesia BJ Habibie, menyarankan Indonesia mempertimbangkan tentang tawaran otonomi kepada Timor Timur.

Menurut Donald Greenlees, surat itu merupakan upaya berisiko tinggi untuk membantu melegitimasi kekuasaan Indonesia.

"Namun itu adalah salah satu intervensi paling menentukan dalam sejarah salah satu hubungan terpenting Australia. Meskipun ada upaya oleh beberapa dari mereka yang terlibat untuk mengklaim secara retrospektif bahwa itu sukses, itu gagal dengan caranya sendiri. Kita tidak boleh melupakan apa yang salah," katanya.

Ketika Habibie menanggapi dengan melakukan sebaliknya, yang akhirnya menjadi pemungutan suara PBB pada tanggal 30 Agustus 1999, Canberra mendapati dirinya menuju krisis karena tujuan strategisnya disulap lalu disesuaikan kembali.

Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul "Timor Timur di Tahun 1974, Dianggap Bakal Jadi 'Duri' Bagi Indonesia oleh Soeharto, Tapi Dianggap Tak Layak untuk Merdeka oleh Australia"

(*)

Tag

Editor : Siti Nur Qasanah

Sumber Intisari Online