Gridhot.ID - Kasus korupsi Mensos kini jadi tamparan keras bagi pemerintah.
Pasalnya kasus tersebut membuktikan bantuan sosial dalam bentuk sembako nyatanya sangat rawan untuk diselewengkan.
Seperti yang kita ketahui sebelumnya pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara sebagai tersangka dalam kasus bansos Covid-19.
Sejumlah pihak menilai, bansos sembako lebih baik diganti dengan bantuan langsung tunai (BLT).
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi perlindungan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga 25 November 2020 sebesar Rp 207,8 triliun.
Angka itu setara dengan 88,9% dari pagu sejumlah Rp 233,69 triliun.
Secara rinci, dalam program PEN ada tiga program perlindungan sosial yang menggunakan skema bansos. Pertama, kartu sembako yang realisasinya sudah sebesar Rp 39,71 triliun, setara 93% dari total anggaran senilai Rp 42,53 triliun.
Kedua, bantuan sembako Jabodetabek dengan progres penyaluran sebesar Rp 6,44 triliun atau sama dengan 91% dari pagu sebesar Rp 7,1 triliun. Ketiga, realisasi bansos beras bagi penerima Program Keluarga Harapan (PKH) yakni Rp 5,26 triliun, setara 99% dari alokasi anggaran Rp 5,3 triliun.
Artinya dalam waktu satu bulan ini, total anggaran bansos sembako yang belum disalurkan tersisa Rp 3,52 triliun. Kendati demikian, dalam program PEN 2021 pemerintah masih mengusung program kartu sembako dengan anggaran sebesar Rp 44,7 triliun. Anggaran tersebut ditujukan untuk 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dengan alokasi sekitar Rp 200.000 per penerima.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan pihaknya masih mengevaluasi program bansos sembako dalam program PEN.
Sehingga dirinya belum bisa memastikan bansos sembako akan diganti dengan BLT.
Di sisi lain, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pihaknya akan memetakan dan mengevaluasi efektivitas anggaran seluruh program PEN, tidak terkecuali program bansos sembako sebagai stimulus perlindungan sosial.
“Dari seluruh instrument keuangan negara ini, tentu kita akan melihat efektivitasnya sampai ke masyarakat atau dampaknya ke perekonomian,” kata Menkeu dalam dalam Business, Finance, and Accounting (BFA) Conference, Selasa (8/12).
Yang jelas Menkeu berharap melalui program PEN, ekonomi di 2020 bisa tumbuh minus 1,7% hingga minus 0,6%. Secara berkala ekonomi diharapkan membaik setelah terpukul dalam pada kuartal II-2020 dengan realisasi minus 5,32%, kuartal III-2020 minus 3,49%, dan kuartal IV-2020 diprediksi mendekati 0%.
Sementara itu, Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan program bansos sembako untuk membantu keluarga miskin tidak tepat. Menurutnya, skema perlindungan sosial itu musti diubah menjadi BLT karena langsung berdampak terhadap daya beli masyarakat.
Faisal menyampaikan melalui skema BLT masyarakat miskin bisa menentukan sendiri pilihan barang yang ingin dikonsumsinya. Ia memberi contoh, bansos sembako seperti gula dan beras tidak cocok untuk penderita diabetes. Sementara, keluarga yang mempunyai bayi atau anak balita bisa menggunakan BLT untuk membeli susu.
“Kebutuhan setiap orang berbeda-beda. Kalau diberikan tunai dan ditransfer, kemungkinan dikorupsi sangat kecil. Yang tidak punya rekening bank bisa ditransfer lewat kantor pos, ” tulis Faisal dalam akun media sosialnya, Minggu (6/12)
Sejalan, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan bahwa skema bansos tidak diberikan dalam bentuk barang sembako. Kata Piter, pemerintah harus segera membangun sistem penyaluran bansos yang sudah sepenuhnya memanfaatkan teknologi informasi digital dan di-support dengan data penerima yang lengkap.
“Sehingga ke depan pengawasan dan pengecekan penyaluran bansos dapat dilakukan oleh semua pihak sekaligus mengurangi minat dan peluang penyelewengan,” kata Piter kepada Kontan.co.id, Selasa (8/12)
Artikel ini telah tayang di Kontan dengan judul Rawan diselewengkan, bansos sembako bakal diganti BLT?
(*)