GridHot.ID - Keadaan di Laut China Selatan terus memanas.
Namun, di tengah panasnya sengketa antara Amerika Serikat dengan China di Laut China Selatan, rupanya ada satu negara yang disebut-sebut bisa menengahi konflik.
Negara tersebut tak lain dan tak bukan ialah Indonesia.
Seperti diberitakan Kompas.com, Kementerian Luar Negeri China mengecam Amerika Serikat ( AS) setelah kapal induk AS dikerahkan ke Laut China Selatan.
China menyebut AS terlalu sering mengirim kapal dan pesawatnya ke Laut China Selatan. Dan itu, menurut Beijing, tidak bagus untuk perdamaian.
"Amerika Serikat sering mengirim pesawat dan kapal ke Laut China Selatan untuk melenturkan ototnya," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, kepada wartawan, Senin (25/1/2021).
“Ini tidak kondusif untuk perdamaian dan stabilitas di kawasan,” imbuh Zhao.
Laut China Selatan merupakan perairan yang strategis dan telah lama menjadi fokus pertikaian antara Beijing dan Washington.
China seringkali mengungkapkan kemarahannya oleh aktivitas militer AS di perairan tersebut
Sementara itu, dilansir dari Kontan.co.id, Indonesia disebut-sebut bisa berperan menjadi penengah antara Amerika Serikat dan China dalam konflik di Laut China Selatan.
Hal itu diungkapkan Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Profesor Ary Bainus.
Ary menambahkan, kedua negara sudah sama-sama menempatkan kekuatan militer di Laut China Selatan. Oleh karena itu, dia menekankan Indonesia pantas merasa sangat khawatir kalau ketegangan situasi di Laut China Selatan terus meningkat dan berpotensi menjadi perang terbuka.
"Indonesia mempunyai peluang dalam rangka memediasi permusuhan antara Amerika Serikat dengan China. Kita bisa mengambil peran di situ, terutama berkaitan dengan Laut China Selatan," kata Ary dalam diskusi bertajuk “Arah Kebijakan Presiden Amerika Joe Biden terhadap Indonesia dan Dunia,” Sabtu (30/1/2021).
Peluang tersebut, lanjut Ary, cukup besar, karena Indonesia bukan termasuk negara yang mengklaim wilayah di Laut China Selatan, seperti yang dilansir dari VOA Indonesia pada Minggu (31/1/2021). Namun, Ary mengingatkan dengan tetap menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
Berkaitan dengan konflik di Laut China Selatan, menurut mantan diplomat Amerika, Stanley Harsha, Amerika Serikat tidak akan meminta Indonesia atau negara mana pun untuk memilih antara Amerika atau China. Stanley mengungkapkan kebijakan AS di bawah Biden dalam isu Laut China Selatan tidak akan berbeda dengan pemerintahan Presiden Donald Trump.
“Amerika akan sangat tegas, sangat tegas, mungkin tidak banyak berbeda dengan Trump," ujar Stanley.
Menurut Stanley, untuk mencegah meluasnya pengaruh China di Asia Tenggara, Amerika akan meningkat investasinya di kawasan tersebut. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkali-kali mengingatkan kepada semua negara, termasuk Amerika Serikat dan China, untuk menahan diri buat menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.
Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.
Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan ekploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut China Selatan.
Nilai komoditas perdagangan melewati Laut China Selatan saban tahun sebesar US$ 3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia. Sekitar 80% dari impor energi China dan 39,5% dari total perdagangan mereka melewati Laut China Selatan.
Sejak 2013, China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan tersebut mengundang kecaman internasional. Mulai 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut China Selatan. (*)