Gridhot.ID - Peperangan yang terjadi di Yaman memang sudah sangat mengkhawatirkan.
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, pada Desember 2020 lalu saja total 11 anak terbunuh hanya dalam 3 hari.
Bahkan di antaranya ada bayi yang berumur 1 bulan.
Total tercatat 112.000 orang tewas dan 3 juta warga harus mengungsi.
Peran negara tetangga tentu saja penting dalam peperangan ini.
Di masa sekarang, Joe Biden yang kini memimpin Amerika Serikat langsung mengambil sikap terhadap perang tersebut.
Dkikutip Gridhot dari Kontan, Presiden AS Joe Biden pada hari Kamis (4/2/2021) menyatakan penghentian dukungan AS untuk kampanye militer yang dipimpin Arab Saudi di Yaman.
Biden menuntut agar perang yang sudah berlangsung lebih dari enam tahun itu harus segera diakhiri.
Melansir Reuters, Biden juga menunjuk diplomat veteran AS Timothy Lenderking sebagai utusan khusus AS untuk Yaman dalam upaya meningkatkan diplomasi Amerika dalam mengakhiri perang di Yaman, perang yang telah menciptakan bencana kemanusiaan dan strategis.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menggambarkan Yaman sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia, dengan 80% penduduknya membutuhkan bantuan dan jutaan warga di ambang kelaparan skala besar.
"Perang ini harus diakhiri," kata presiden dari Partai Demokrat itu saat berkunjung ke Departemen Luar Negeri AS di Washington.
"Dan untuk menggarisbawahi komitmen kami, kami mengakhiri semua dukungan Amerika untuk operasi ofensif dalam perang di Yaman, termasuk penjualan senjata yang relevan."
Langkah tersebut merupakan kebalikan dari kebijakan pemerintahan Obama dari Partai Demokrat dan Trump dari Partai Republik.
Biden adalah wakil presiden dalam pemerintahan Obama.
“Pada saat yang sama, Arab Saudi menghadapi serangan rudal, serangan UAV (drone) dan ancaman lain dari pasukan yang disuplai Iran di banyak negara. Kami akan terus mendukung dan membantu Arab Saudi mempertahankan kedaulatannya dan integritas teritorialnya serta rakyatnya," kata Biden seperti yang dikutip Reuters.
Arab Saudi menyambut baik pernyataan Biden, terutama komitmennya terhadap pertahanan negara dan mengatasi ancaman terhadap negaranya, menurut kantor berita negara tersebut.
Koalisi militer yang dipimpin Saudi melakukan intervensi di Yaman pada 2015, mendukung pasukan pemerintah yang memerangi Houthi yang berpihak pada Iran. Pejabat PBB berusaha menghidupkan kembali pembicaraan damai untuk mengakhiri perang karena penderitaan negara juga diperburuk oleh krisis ekonomi, jatuhnya mata uang, dan pandemi Covid-19.
Harapan untuk Yaman
Di bawah pemerintahan Trump, kebijakan tentang Yaman adalah nomor dua dari apa yang disebut kampanye sanksi "tekanan maksimum" terhadap Iran dalam upaya untuk memaksa Teheran kembali ke perundingan mengenai program dan kegiatan nuklir dan misilnya di Timur Tengah.
Mantan Presiden Donald Trump dan penasihatnya Jared Kushner, juga fokus menjaga hubungan dekat mereka dengan penguasa efektif Arab Saudi, Putra Mahkota Mohammed bin Salman, termasuk penjualan senjata AS.
Ini terlepas dari tuntutan oleh anggota parlemen dari Partai Republik dan Demokrat untuk diakhirinya dukungan AS untuk Riyadh ketika jumlah kematian warga sipil di Yaman meningkat dan krisis kemanusiaan memburuk.
Penasihat keamanan nasional Biden Jake Sullivan mengatakan sebelumnya pada hari Kamis bahwa akhir dari dukungan AS untuk operasi koalisi pimpinan Saudi di Yaman tidak mencakup upaya untuk memerangi afiliasi regional dari kelompok militan al Qaeda.
Sullivan mengatakan, pemerintahan Biden telah menghentikan dua penjualan amunisi berpemandu presisi dan terus menginformasikan kepada sekutu regional di wilayah tersebut tentang tindakan untuk menghindari kejutan.
"Setiap langkah yang mengurangi jumlah senjata, aktivitas militer, akan disambut dan akan memberikan lebih banyak ruang dan lebih banyak harapan tidak hanya untuk pembicaraan, tetapi yang lebih penting lebih banyak harapan untuk rakyat Yaman," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric pada hari Kamis.
(*)