Gridhot.ID- Krisis perekonomian pernah dialami oleh negara-negara berkembang bahkan negara maju.
Bahkan beberapa negara ada yang terancam bangkrut dan hancur perekonomiannya.
Hal ini menyebabkan negara tersebut terpaksa berhutang dengan negara lain.
Sebagai contoh, negara tetangga Indonesia, Malaysia.
Dilaporkan Intisari-Online dariReuters, Menteri Keuangan Malaysia Lim Guang Eng menjelaskan total utang Malaysia mencapai 1.087 triliun ringgit (sekitar Rp3.500 triliun) pada 31 Desember 2017.
Banyak bukan? Tapi faktanya utang Indonesia juga tak kalah banyak. Bahkan jauh lebih besar.
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia hingga akhir Desember 2020 mencapai lebih dari Rp6.074 triliun.
Angka itu meningkat dalam satu tahun. Sebab, pada dari akhir Desember 2019, utang Indonesia tercatat Rp4.778 triliun.
Besar kemungkinan itu dikarenakan pandemi virus corona (Covid-19).
Walau begitu, tak seperti Malaysia, Indonesia tidak terancam bangkrut..
Nah, lagi-lagi bicara soal utang negara, baru-baru ini diketahui bahwa Jepangtelah menambah utang.
Utang tersebutsenilai 2 triliun dollar AS dan digunakan untuk membiayai paket stimulus sebagian bantalan perekonomian di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
Dilansir dariAFPpada Kamis (11/6/2020), besaran utang Jepang tersebut mencapai 2,5 kali lipat dari keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut.
Jepang pun saat ini berupaya untuk mengelola yield surat utang pemerintah padda level yang sangat rendah serta kepercayaan investor tetap tinggi untuk menghindari default.
Secara keseluruhan, bank sentral setempat Bank of Japan (BoJ) pada akhir 2019 mencatatkan tingkat utang Negeri Sakuta mencapai 1.328 yen atau setara dengan 12,2 triliun dollar AS (Rp170.800 triliun) (dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS).
Namun demikian, penumpukan utang tersebut dinilai tidak terlalu bermasalah.
Pasalnya, untuk membiayai utang tersebut pemerintah Jepang melakukan penerbitan surat utang yang disebut dengan JGB (Japanese Government Bond).
Dalam upaya untuk mendukung perekonomian di tengah pandemi, BoJ pun menghapus plafon yang diberlakukan untuk membeli JGB.
Dengan demikian, bank sentral memiliki daya beli tanpa batas.
Saat ini, BoJ memegang lebih dari semua surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah setempat.
Dengan demikian, BoJ menjaga harga JGB di pasar surat utang seklaligus menjaga agar imbal hasil obligasi pemerintah tetap rendah.
Artinya, pada dasarnya dalam mengelola keuangan di tengah pandemi pemerintah Jepang didanai oleh bank sentral dengan tingkat bunga yang sangat rendah (atau bahkan negatif).
Hal tersebut membuat pembiayaan pemerintah bisa lebih berkelanjutan.
Sementara untuk utang Malaysia dan Indonesia, penjelasannya ada pada rasio utang negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Utang Malaysia memang hanya Rp3.500 triliun. Tapi rasionya terhadap PDB lebih dari 60 persen.
Sebaliknya Indonesia. Meski berutanglebih dari Rp6.074 triliun, rasio jumlah utangnya hanya 29 persen dari PDB.
Dengan rasio utang yang lebih dari 60 persen PDB, hampir dipastikan Malaysia akan kesulitan dalam membayar cicilan utang tiap tahunnya.
Hal ini tentu saja akan membawa efek berantai di kondisi moneter Malaysia.(*)