Gridhot.ID -Kasus penagihan utang Bambang Trihatmodjo yang harus dibayar ke negara sebesar Rp 50 miliar memasuki babak baru.
Setelah gugatannya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani ditolak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Bambang tetap harus membayar utangnya kepada negara.
"Pengurusannya masih berlanjut seperti biasa. Jadi kita melakukan penagihan melalui ketentuan PUPN," kata Direktur Hukum dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Tri Wahyuningsih dalam Bincang Bareng DJKN secara virtual, Jumat (30/4/2021) dikutip dari Kompas.com.
Diketahui, utang putra Presiden ke-2 RI Soeharto itu bermula dari penyelenggaraan SEA Games XIX Tahun 1997 silam.
Bambang saat itu merupakan ketua konsorsium swasta yang ditunjuk pemerintah menjadi penyelenggara gelaran olahraga antar-negara ASEAN di Jakarta.
Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara, Setya Utama pernah menjelaskan, saat itu rupanya konsorsium swasta kekurangan dana sehingga harus ditalangi oleh pemerintah.
Disebutkan, negara harus menalangi kekurangan dana dari pihak konsorsium swasta sebesar Rp 35 miliar lewat bantuan presiden (banpres).
Namun, negara menagih Rp 50 miliar karena menghitung tambahan akumulasi bunga sebesar 5% tiap tahunnya.
Bambang memang sempat melayangkan gugatan ke PTUN terkait keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) Nomor 108/KM.6/2020 tanggal 27 Mei 2020 tentang Penetapan Perpanjangan Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah RI terhadap Bambang Trihatmodjo dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara.
Gugatan diajukan karena Bambang keberatan dengan pencekalan ke luar negeri oleh Imigrasi Kemenkum HAM atas permohonan Kemenkeu tersebut.
Sayangnya, PTUN menolak gugatan Bambang dan penagihan utang pun tetap berjalan seperti biasa.
"Jadi proses berjalan seperti biasa, penagihan kembali," ucap Tri Wahyuningsih.
Pencegahan terus dilakukan meski pengacara Bambang, Prisma Wardhana Sasmita telah mengirim surat ke Kemenkeu yang meminta dicabutnya pencegahan.
Kemenkeu lantas meminta pihak Bambang segera menyelesaikan piutangnya sehingga pencegahan bisa dicabut.
Urusan utang Bambang belum lagi kelar, aset-aset milik Keluarga Cendana perlahan-lahan mulai diambil alih negara.
Daftar aset yang disita negara mulai dari Taman Mini Indonsia Indah (TMII), hingga ratusan rekening keluarga tersebut.
Alasan penyitaan aset keluarga Cendana dilakukan agar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bisa masuk ke kas negara.
Mengutip Fotokita.id, berikut daftar aset milik keluarga Soeharto yang diambil alih negara:
1.Taman Mini Indonsia Indah (TMII)
Presiden Jokowitelah menandatangani Peraruran Presiden (PP) Nomor 19 Tahun 2021 pada beberapa waktu lalu. Dengan demikian, pemerintah resmi mengambil alih TMII.
Sebelum diambil negara, pengelolaan aset seluas hampir 150 hektare tersebut dikelola oleh Yayasan Harapan Kita selama 44 tahun.
Sebelum diputuskan pengambilalihan, telah dilakukan audit keuangan dari tim legal Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Hasil audit BPK menyatakan bahwa perlu dilakukan pengelolaan yang lebih baik terhadap TMII.
Berdasarkan evaluasi dari Kemensetneg dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 2018, TMII ditaksir memiliki nilai sebesar Rp 20 triliun.
2. Gedung dan Vila
Penyitaan Gedung Granadi dan villa di Megamendung bermula ketika pemerintah menyita aset Yayasan Supersemar tahun 2018.
Penyitaan tersebut bermula ketika pemerintah menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan penyelewengan dana beasiswa Yayasan Supersemar.
Dana tersebut seharusnya diberikan kepada para pelajar. Sayangnya, yayasan justru menyalurkan kepada sejumlah perusahaan.
Akhirnya yayasan diwajibkan membayar Rp 4,4 triliun kepada negara. Kedua aset itupun disita.
Saat ini, dua aset milik keluarga presiden ke-2 RI itu masih disita oleh dua Pengadilan Negeri.
Pengadilan negeri yang dimaksud adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Cibinong.
Kendati demikian, pengelolaan aset nantinya tetap dipegang oleh Kemenkeu melalui DJKN, mengingat status aset tersebut adalah Barang Milik Negara (BMN).
Sementara pengguna barangnya adalah kementerian atau lembaga terkait yang mengambil alih, seperti halnya TMII diambil alih Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
3. Rekening
Kejaksaan Agung RI telah mengumpulkan uang lebih dari Rp 242 miliar hasil eksekusi Yayasan Supersemar.
Uang sitaan tersebut sudah dimasukkan ke kas negara pada 28 November 2019.
Penyitaan dilakukan sebagai upaya Kejaksaan Agung dalam menjalankan putusan kasasi Mahkamah Agung, yaitu menyita aset dan mewajibkan Yayasan Supersemar membayar kepada negara sebesar Rp 4,4 triliun.
Aset lain yang telah disita dari keluarga Cendana antara lain 113 rekening berupa deposito dan giro, dua bidang tanah seluas 16.000 meter persegi di Jakarta dan Bogor, serta enam unit kendaraan roda empat.
(*)