Gridhot.ID - Pelanggaran aturan di Indonesia kini nampak tak ada ancamannya.
Pasalnya, dengan klarifikasi, terkadang pelanggaran itu bisa cepat dimaafkan.
Bukannya dihukum, tak jarang para pelanggar etika badan hukum justru dijadikan duta pada bidang yang dilanggar.
Hal ini sontak menjadi perhatian masyarakat luas.
Tak sedikit yang jenuh dan mempertanyakan mengapa pelanggar yang jelas tak memberi contoh baik malah dijadikan duta.
Padahal, menurut seorang dosen Administrasi Publik Universitas Airlangga (Unair) Falih Suaedi, duta semestinya menjadi panutan atau role model, sehingga tidak tepat jika pelanggar ditempatkan di posisi tersebut.
Menurutnya, duta adalah pemain sesungguhnya yang secara realita memiliki sesuatu untuk bisa menyentuh orang lain bukan dengan cara pencitraan seperti di sinetron.
Oleh karenanya, Falih menilai perlu dipertimbangkan beberapa kriteria sebelum seseorang ditetapkan sebagai duta.
Kriteria pertama, ialah sosok duta harus memiliki pertumbuhan pribadi yang konsisten.
Kedua, calon duta juga harus memiliki perhatian atau kepedulian tinggi terhadap bidang yang dia emban.
Falih mengatakan, duta kudu mampu memberikan nilai tambah dan mengimplementasikan value di bidang terkait secara konsisten dalam realitanya.
Mengangkat duta hanya karena seseorang itu viral, dan bahkan setelah melanggar, bukan cara yang tepat.
“Kalau para pelanggar justru dijadikan duta saya melihatnya itu hal yang sia-sia dan efeknya nol," tegas dia, melansir laman unair.ac.id via Kompas.com.
"Karena duta harusnya memberikan panutan, namun publik sudah mengetahui bahwa sosok itu sendiri tidak mengimplementasikan value bidang yang diemban dengan baik dan konsisten,” tambahnya.
Dia menjelaskan, berdasarkan teori bandura, seorang panutan harus memenuhi 2 kriteria, yakni mampu mengidentifikasi atau mendorong (menginspirasi) orang lain untuk melakukan sesuatu seperti yang dia lakukan dan mampu memberikan contoh serta dukungan.
“Jadi tidak bisa kita mengangkat duta dengan alasan sosok itu terkenal atau sedang viral," ujar Falih.
"Sudah saatnya duta itu diambil dari kalangan tidak melangit, tapi membumi,” tekannya.
Maksud dari membumi, kata Falih yakni mengangkat seorang duta tidak melulu harus karena orangnya terkenal.
Masyarakat dari kalangan bawah juga layak diangkat sebagai duta, selama dia mampu menginspirasi orang lain dan berkomitmen/konsisten menerapkan bidang terkait di kehidupan sehari-hari.
“Ketika kita melihat bahwa ada orang lain dari kalangan bawah yang justru melakukan sesuatu, maka hati kita akan tersentuh dan ikut tergerak melakukan hal yang sama," ujar Falih.
"Jadi yang terpenting dari sosok duta adalah benar-benar melakukannya secara konsisten dalam kehidupan nyata dan mampu menggerakkan banyak orang,” tandasnya.
Fenomena terbaru seorang duta diangkat dari pelanggar terjadi pada pria yang mengumpat kepada para pemakai masker di Mall Surabaya.
Dilansir dari Tribunnews.com, pria itu adalah Putu Arimbawa yang justru didaulat menjadi duta protokol kesehatan.
Tak berhenti di situ saja, kasus serupa juga terjadi pada Nawir dari Bekasi.
Nawir diketahui mengusir jamaah bermasker di masjid, tetapi dia tidak disanksi dan justru dikabarkan jadi duta masker. (*)