Gridhot.ID - Gletser atau lapisan es di dunia ini sangat berpengaruh terhadap iklim.
Sementara itu, baru-baru ini ada berita yang mengabarkan akan terjadi runtuhan gletser yang terbesar di dunia.
Penemuan baru yang dipimpin oleh University of Michigan menunjukkan, bahaya keruntuhan mendadak diprediksi lebih kecil daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Dilansir Kontan.co.id dariPhys Sabtu (19/6/2021), studi yang dipublikasikan di Science juga meliputi simulasi kematian akibat Gletser Thwaites Antartika Barat, salah satu gletser terbesar dan paling tidak stabil di dunia.
Para peneliti memodelkan runtuhnya berbagai ketinggian tebing es, formasi hampir vertikal yang terjadi di mana gletser dan lapisan es bertemu dengan lautan.
Mereka menemukan bahwa ketidakstabilan tidak selalu mengarah pada disintegrasi yang cepat.
"Apa yang kami temukan adalah bahwa dalam rentang waktu yang lama, es berperilaku seperti cairan kental, seperti kue dadar yang menyebar di penggorengan," kata Jeremy Bassis, profesor ilmu dan teknik iklim dan ruang angkasa UM.
Dia menambahkan, jika es menyebar dan menipis lebih cepat, hal ini bisa menstabilkan keruntuhan.
"Namun jika lapisan es tidak cukup cepat menipis, saat itulah ada kemungkinan runtuhnya gletser yang lebih cepat."
Para peneliti menggabungkan variabel keruntuhan es dan aliran es untuk pertama kalinya.
Mereka menemukan bahwa peregangan dan penipisan es, serta penopang dari bongkahan es yang terperangkap, dapat memoderasi efek ketidakstabilan tebing es laut yang disebabkan oleh fraktur.
Temuan baru ini menambah nuansa pada teori sebelumnya yang disebut ketidakstabilan tebing es laut, yang menyatakan bahwa jika ketinggian tebing es mencapai ambang tertentu, ia dapat tiba-tiba hancur karena beratnya sendiri dalam reaksi berantai dari patahan es.
Gletser Thwaites di Antartika yang kerap disebut sebagai "Gletser Kiamat", bergerak mendekati ambang batas ini dan dapat berkontribusi hampir 3 kaki terhadap kenaikan permukaan laut jika terjadi keruntuhan total.
Gletser kiamat di Antartika ini berukuran 74.000 mil persegi, kira-kira seukuran Florida, dan sangat rentan terhadap perubahan iklim dan laut.
Tim peneliti juga menemukan bahwa gunung es yang retak dan jatuh dari gletser utama dalam proses yang dikenal sebagai "iceberg calving" sebenarnya dapat mencegah, daripada berkontribusi, keruntuhan bencana.
Jika bongkahan es terjebak pada singkapan di dasar laut, mereka dapat memberikan tekanan balik pada gletser untuk membantu menstabilkannya.
Bassis mencatat, jika gletser tidak runtuh secara besar-besaran, mengekspos tebing tinggi masih bisa memicu kemunduran beberapa kilometer per tahun.
Hal ini dapat menghasilkan kontribusi besar terhadap kenaikan permukaan laut di masa depan.
Meskipun jelas bahwa Thwaites dan gletser lainnya mencair, kecepatan kematian mereka sangat menarik bagi daerah pesisir saat mereka mengembangkan strategi untuk beradaptasi dan membangun ketahanan.
Tetapi memprediksi mundurnya gletser adalah hal yang sangat rumit, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi.
Faktor-faktor tersebut antara lain tekanan dan ketegangan miliaran ton es yang bergeser, perubahan suhu udara dan air, serta efek dari aliran air di atas es.
Akibatnya, prediksi runtuhnya Gletser Thwaites berkisar dari beberapa dekade hingga berabad-abad.
Studi baru, kata Bassis, merupakan langkah penting untuk menghasilkan prediksi yang akurat dan dapat ditindaklanjuti.
"Tidak ada keraguan bahwa permukaan laut meningkat, dan itu akan berlanjut dalam beberapa dekade mendatang," kata Bassis.
"Tapi saya pikir penelitian ini menawarkan harapan bahwa kita tidak mendekati kehancuran total—bahwa ada langkah-langkah yang dapat mengurangi dan menstabilkan berbagai hal. Dan kita masih memiliki kesempatan untuk mengubah banyak hal dengan membuat keputusan tentang hal-hal seperti emisi energi—metana dan CO2," paparnya seperti yang dilansir dari Phys.(*)