Gridhot.ID - Belakangan ini kondisikonflik di Laut China Selatan makin menegang.
Bahkan dilansir dari Kontan.co.id, beberapa pakar mengungkapkan bahwa wilayah yang berbatasan langsung dengan Indonesia itu berpeluang besar jadi medan perang.
Tak sedikit pula yang mengatakan kawasan yang sebagian besar berada di wilayah Asia Tenggara itu bakal jadi tempat pertama terjadinya perang dunia ketiga.
Indonesia mengingatkan agar ASEAN menahan diri menghadapi tindakan provokasi yang dilakukan sejumlah pihak terkait Laut China Selatan.
Hal ini disampaikan Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu), Mahendra Siregar saat menghadiri pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF) dalam rangkaian ASEAN Ministerial Meeting (AMM) dan ASEAN Post Ministerial Conferences (PMC) pada Jumat (6/8/2021).
"Negara peserta ARF perlu memanfaatkan forum ini untuk membiasakan proses dialog di kawasan, membangun kepercayaan dan menjembatani perbedaan perspektif, serta mengurangi ketegangan antar para anggotanya," tegas Wamenlu Mahendra, melansir Tribunnews.
Para Menlu menyoroti bertambahnya intensitas rivalitas antar kekuatan besar di masa pandemi.
Indonesia mendorong agar ARF dapat menerjemahkan dialog menjadi kerja sama konkret.
Terutama, di bidang ketahanan kesehatan untuk menunjang SDGs sebagai bagian dari ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP).
Wamenlu RI juga menekankan pentingnya semua pihak menahan diri dari proyeksi kekuatan dan tindakan provokasi yang dapat meningkatkan ketegangan di Laut China Selatan, terutama di tengah pandemi.
Indonesia menyerukan, komunitas internasional harus mendukung peran ASEAN di Myanmar dan menyelesaikan segala bentuk perselisihan di Laut China Selatan sesuai dengan UNCLOS 1982.
Pada pertemuan itu, Indonesia juga menekankan pentingnya dialog dan strategic trust dalam menjawab tantangan kawasan seperti denuklirisasi Semenanjung Korea.
Beberapa waktu lalu, Amerika Serikat (AS) dan Jepang juga membahas masalah Laut China Selatan.
Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga mengadakan pertemuan puncak pertamanya dengan Presiden AS, Joe Biden di Gedung Putih tanggal 17 April waktu Jepang sebelum fajar.
Keduanya tampak serius membicarakan masalah Taiwan.
"Kami akan menekankan pentingnya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan dan mempromosikan penyelesaian damai masalah lintas selat," ungkap PM Yoshihide Suga dalam jumpa persnya, melansir Tribunnews.
Masalah Taiwan telah masuk dalam kesepakatan antara para pemimpin Amerika Serikat dan Jepang sejak pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri Eisaku Sato dan Presiden Nixon pada 1969, sebelum normalisasi hubungan diplomatik antara Jepang dan China.
Pertemuan tersebut diadakan selama sekitar 20 menit secara tatap muka dengan hanya seorang penerjemah.
Kemudian, dipindahkan ke pertemuan kelompok kecil dan pertemuan umum yang berlangsung selama dua setengah jam.
Ini adalah pertama kalinya Biden melakukan pertemuan tatap muka dengan para pemimpin asing.
Pada pertemuan tersebut, para pemimpin Jepang dan Amerika Serikat sepakat bahwa China diperkirakan akan menentang upaya untuk mengubah status quo dengan kekerasan dan mengintimidasi orang lain di kawasan terkait situasi di Laut China Timur dan Selatan.
Pada konferensi pers bersama setelah pertemuan, Perdana Menteri Suga menyatakan (kepada Presiden AS) bahwa lingkungan keamanan menjadi semakin parah di Asia Timur.
Sehingga, diperlukan usaha memperkuat penangkalan dan kekuatan penanggulangan aliansi Jepang-AS.
Terkait pernyataan bersama tersebut, PM Suga menegaskan, "Ini adalah kompas aliansi Jepang-AS ke depan."
"Ini sangat menunjukkan persatuan kedua negara menuju perwujudan konsep 'Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka."
Presiden As juga menegaskan kembali penerapan Pasal 5 Perjanjian Keamanan Jepang-AS, yang menetapkan kewajiban pertahanan AS kepada Jepang, ke Prefektur Okinawa dan Kepulauan Senkaku.
Joe Biden berkata, "Kami akan melindungi keamanan Jepang dengan tembok besi."(*)