Negara Berkembang Harus Makin Waspada, Perubahan Iklim Bikin Bencana di Dunia Meningkat hingga 6 Kali Lipat, Bagaimana Indonesia?

Senin, 06 September 2021 | 13:42
pixabay

Pemanasan global menyebabkan es di kutub utara semakin mencair.

GridHot.ID - Pemanasan global kini jadi ancaman serius bagi bumi dan makhluk hidup.

Mengutip Kompas.com, pemanasan global adalah proses peningkatan suhu bumi yang berlebihan. Penyebabnya, gas rumah kaca yang tentu juga berlebihan.

Dalam 200 tahun terakhir, manusia menghasilkan karbon dioksida yang berlebih. Kita menghasilkan karbon dioksida lewat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas bumi.

Pembakaran yang masif ini dimulai sejak abad ke-18, ketika dunia memasuki Revolusi Industri. Gas rumah kaca yang makin tebal ini membuat panas matahari lebih banyak terperangkap di bumi.

Akibatnya, bumi makin hangat. Dibanding masa sebelum Revolusi Industri, bumi makin panas sekitar 1,1 derajat celsius. Inilah yang dimaksud dengan pemanasan global.

Pemanasan ini memberi dampak yang berbahaya bagi para penghuni bumi. Secara langsung, peningkatan suhu membuat es atau gletser di kutub bumi meleleh.

Es itu meleleh menjadi air di lautan. Kenaikan permukaan air laut membuat tanah yang tadinya daratan, kini menjadi laut.

Baca Juga: Merayap Setengah Kilometer di Gelapnya Hutan Serta Cuaca Hujan, Tim Koopsgabsus TNI Sukses Sergap Anggota MIT di Persembunyian, Begini Kronologinya yang Menegangkan

Sementara itu, dikutip dari Kontan.co.id, laporan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebutkan bahwa jumlah bencana alam, seperti banjir dan gelombang panas yang didorong oleh perubahan iklim telah meningkat lima kali lipat selama 50 tahun terakhir

Badan PBB tersebut juga mencatat bahwa serangkaian bencana alam dalam setengah abad terakhir telah merugikan manusia hingga US$3,64 triliun.

Dilansir dari Reuters, program penelitian Atlas yang dilakukan WMO mensurvei sekitar 11.000 bencana yang terjadi antara 1979-2019. Di antaranya termasuk bencana kekeringan di Ethiopia tahun 1983 yang menewaskan 300.000, serta Badai Katrina pada 2005 yang menelan kerugian hingga US$163,61 miliar.

Lebih dari 91% dari 2 juta kematian terjadi di negara berkembang yang umumnya memiliki sistem peringatan dini yang kurang mumpuni.

Laporan tersebut menunjukkan tren terjadinya bencana yang semakin cepat. Jumlah bencana alam meningkat hampir lima kali lipat dari tahun 1970-an hingga dekade terakhir.

WMO meyakini bahwa peristiwa cuaca ekstrem menjadi lebih sering karena pemanasan global serta perubahan iklim yang semakin mudah diamati dalam beberapa tahun terakhir.

Seiring berjalannya waktu, kerugian material akibat bencana alam juga meningkat, dari US$175,4 miliar pada tahun 1970-an menjadi US$1,38 triliun pada 2010-an.

Baca Juga: Waspada! BMKG Peringatkan Cuaca Buruk Diperkirakan BakalTerjadi hingga 22 Februari 2021, Sederet Daerah Ini Diprediksi Punya Potensi Banjir Seperti Jakarta

Di sisi lain, WMO menyebut jumlah kematian tahunan telah turun dari lebih dari 50.000 pada tahun 1970-an menjadi sekitar 18.000 pada tahun 2010. Hal ini didorong oleh sistem perencanaan dan peringatan yang lebih baik.

"Meskipun kerugian ekonomi meningkat seiring dengan meningkatnya intensita bencana, peningkatan sistem peringatan dini multi-bahaya telah menyebabkan penurunan angka kematian yang signifikan," kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas dalam laporan tersebut.

Melalui laporan ini, WMO berharap pemerintah di seluruh dunia menjadi lebih sadar akan risiko bencana alam, termasuk pentingnya menyiapkan sistem peringatan dini.

WMO mencatat bahwa hanya setengah dari 193 anggotanya yang memiliki sistem peringatan dini multi-bahaya. Dalam kasus ini, terjadi kesenjangan yang parah terutama di Afrika.

Baca Juga: Masyarakat Harus Tahu, Sudah Wanti-wanti Sejak Oktober 2020, BMKG Kembali Beri Peringatan Soal Skenario Terburuk Bencana Hidrometeorologi

(*)

Tag

Editor : Desy Kurniasari

Sumber Kompas.com, Kontan.co.id