Gridhot.ID - Publik kini masih menanti nama terbaik untuk bisa memegang jabatan sebagai Panglima TNI yang baru.
Dikutip Gridhot dari Tribunnews, Marsekal Hadi Tjahjanto diketahui akan segera mengakhiri jabatannya sebagai Panglima TNI.
Beberapa nama tentu saja muncul sebagai calon terkuat untuk menggantikan posisinya.
Dikutip Gridhot dari Surya, berikut analisis Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi soal calon panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto.
Menurut Fahmi, kandidat Panglima TNI masih berkutat di antara dua nama.
Keduanya, yakni Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Yudo Margono.
Kandidat terkuat saat ini menurut Fahmi adalah Jenderal Andika Perkasa.
Tapi di sisi lain, peluang untuk Laksamana Yudo Margono juga semakin menguat.
Fahmi menuturkan, belum pernah terjadi pergantian Panglima TNI dari matra yang sama selain dari TNI AD.
Ia menilai, Jenderal Andika Perkasa memiliki peluang besar untuk menjadi Panglima TNI.
Sementara Laksamana Yudo Margono, peluangnya terus menguat seiring waktu.
"Peluang Andika memang cukup besar jika pergantian Panglima TNI dilakukan dalam waktu dekat dan penundaan akan sangat berdampak pada peluang keterpilihan Andika," ujarnya, Selasa (14/9/2021), melansir dari Kompas.com.
"Peluang Yudo Margono cenderung terus menguat seiring waktu. Relatif tak ada masalah baginya dan bagi organisasi TNI, jika pergantian dilakukan sekarang ataupun menjelang masa pensiun Hadi Tjahjanto," imbuh dia.
Secara politik, Fahmi menyebut, kebutuhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hari ini adalah mendapatkan para pembantu dengan loyalitas tanpa reserve, terutama untuk memuluskan agenda-agenda politik dan pemerintahan.
Dari situ, bisa dilihat bahwa tidak ada barrier dalam relasi antara Jokowi dan Yudo Margono.
Namun hal itu sekaligus menunjukkan bahwa Yudo tidak punya endorser (pendukung) yang sangat kuat untuk menggaransi dirinya terpilih.
Berbeda halnya dengan Jenderal Andika Perkasa, yang menurutnya memiliki endorser kuat sekaligus barrier.
"Melalui sosok ayah mertuanya, Hendropriyono, maupun dari beragam pernyataan dukungan dari sejumlah politisi dan tokoh," tuturnya.
Namun ia menyatakan, pergantian Panglima TNI merupakan sebuah proses politik, di mana Presiden mengusulkan, lalu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menilai sebelum memutuskan setuju atau tidak dengan pilihan Presiden.
Akan tetapi, yang tidak patut adalah jika para "bakal calon" ini kemudian menggunakan instrumen atau kekuatan politik tertentu untuk memperkuat peluang untuk dipilih Presiden.
Seperti contoh melalui komunikasi dan negosiasi politik yang ditampakkan melalui dukungan maupun pernyataan politisi yang menunjukkan keunggulan calon tertentu dibandingkan calon lainnya.
Sehingga, menurutnya, akan sulit membayangkan hal tersebut akan bisa terbebas dari komitmen-komitmen transaksional.
Bila itu yang terjadi, kata Fahmi, akan sulit bagi publik untuk memandang kiprah kelembagaan TNI secara obyektif.
"Sulit bagi TNI untuk secara fair berjarak dengan kekuatan politik yang 'getol' mendukung Panglima-nya.
Sulit membayangkan kekuatan-kekuatan politik pendukung itu tidak tertarik melibatkan TNI dalam 'mengamankan' kepentingannya," ujar dia.
Fahmi kembali menyampaikan, pengusulan Panglima TNI merupakan hak dan kewenangan Presiden.
Maka, sepanjang tidak ada kebutuhan mendesak atau persoalan yang mengharuskan penggantian segera, hanya Presiden yang berhak menentukan waktu terbaik untuk mengganti Panglima TNI dan mengusulkan calon penggantinya ke DPR.
(*)