GridHot.ID - Sebagaian besar orang tentu sudah familiar dengan Tuberkulosis atau TBC.
Ya, melansir Kompas.com, TBC merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru-paru, namun bisa juga menyerang organ lain seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.
TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Ini merupakan penyakit menular dan biasanya menyerang jika seseorang yang sehat tinggal bersama orang yang terinfeksi.
Diketahui dariKontan.co.id, kasus TBC meningkat lagi secara global untuk pertama kali dalam satu dekade, menyusul akses ke layanan kesehatan yang terganggu karena pandemi COVID-19, WHO mengatakan pada Kamis (14/10/2021)
Kemunduran tersebut telah menghapus kemajuan bertahun-tahun dalam menangani penyakit yang bisa disembuhkan, yang memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia, itu.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular paling mematikan kedua setelah COVID-19, yang disebabkan oleh bakteri yang paling sering menyerang paru-paru.
Seperti COVID-19, TBC ditularkan melalui udara oleh orang yang terinfeksi, misalnya, melalui batuk.
"Ini adalah berita mengkhawatirkan yang harus menjadi peringatan global akan kebutuhan mendesak atas investasi dan inovasi," kata Direktur Jenderal WHO Adhanom Ghebreyesus mengatakan dalam sebuah pernyataan.
"Untuk menutup kesenjangan dalam diagnosis, pengobatan, dan perawatan bagi jutaan orang yang terkena penyakit kuno tetapi bisa dicegah dan diobati ini," ujarnya, seperti dikutip Channel News Asia.
Penderita TBC naik tajam
Dalam laporan tahunan TBC untuk tahun 2020, WHO menyebutkan, kemajuan dalam pemberantasan TBC telah menjadi lebih buruk lantaran peningkatan jumlah kasus yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.
WHO memperkirakan, saat ini sekitar 4,1 juta orang menderita TBC tetapi belum didiagnosis atau dinyatakan secara resmi, naik tajam dari 2,9 juta pada 2019.
Pandemi COVID-19 telah memperburuk situasi bagi penderita TBC, karena dana kesehatan telah dialihkan untuk mengatasi virus corona dan orang-orang berjuang untuk mengakses perawatan karena penguncian.
Ada juga penurunan jumlah orang yang mencari pengobatan pencegahan TBC, dari 2,8 juta orang pada 2020, turun 21% dibandingkan dengan 2019.
"Laporan ini menegaskan ketakutan kami bahwa gangguan layanan kesehatan penting karena pandemi bisa mulai mengungkap kemajuan selama bertahun-tahun melawan tuberkulosis," kata Tedros.
Sekitar 1,5 juta orang meninggal karena TBC pada tahun 2020, termasuk 214.000 orang dengan positif HIV, menurut laporan WHO. Angka itu naik dari 1,2 juta pada 2019, dengan 209.000 di antaranya positif HIV.
Peningkatan jumlah kematian akibat TBC terjadi terutama di 30 negara dengan beban TBC tertinggi.
Sebagian besar kasus TBC hanya terjadi di 30 negara, banyak di antaranya negara miskin di Afrika dan Asia. Dan, lebih dari separuh kasus baru terjadi pada pria dewasa. Wanita menyumbang 33% kasus dan anak-anak 11%.
Tujuan WHO adalah untuk mengurangi kematian akibat TBC sebesar 90%, dan tingkat kejadian hingga 80% pada 2030 dibanding 2015.
"Tetapi, angka terbaru membahayakan strategi tersebut," ungkap Tedros.
Dan, pemodelannya menunjukkan jumlah orang yang mengembangkan penyakit dan meninggal karena TB bisa "jauh lebih tinggi pada 2021 dan 2022".
Laporan WHO menyatakan, jumlah orang yang baru didiagnosis dan kasus TBC yang dilaporkan ke otoritas nasional turun dari 7,1 juta pada 2019 menjadi 5,8 juta di 2020.
India, Indonesia, Filipina, dan China adalah negara-negara utama yang mengalami penurunan kasus TBC yang dilaporkan. Mereka dan 12 negara lainnya menyumbang 93% dari total penurunan pemberitahuan global.
Pengeluaran global untuk diagnosis, pengobatan, dan layanan pencegahan tuberkulosis turun, dari US$ 5,8 miliar pada 2019 menjadi US$ 5,3 miliar setahun kemudian, menurut laporan WHO.
Sekitar 85% orang yang menderita TBC berhasil diobati dalam waktu enam bulan dengan obat yang tepat, yang juga membantu mencegah penularan penyakit ini.
(*)