Gridhot.ID-Kondisi Myanmar kini semakin mengkhawatirkan.
Kudeta Junta Militer makin membuat rakyat Myanmar naik darah.
Bahkan, kabar terbaru menuturkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa baru saja mengirimkan pasukan khusus ke Myanmar.
Hal ini dilaporkan diplomat Swiss, Christine Schraner Burgener, yang mengatakan negara itu sekarang sedang dalam status perang sipil setelah kudeta militer awal tahun 2021 lalu.
Burgener sendiri sebelumnya adalah agen khusus yang dikirimkan PBB ke Myanmar, yang akhirnya mundur dari jabatannya itu setelah menjabat 3,5 tahun.
Menurut penilaiannya, warga Myanmar akan tetap melanjutkan menahan kudeta militer dan banyak yang menulis kepadanya: "Kami lebih baik mati daripada menerima diktator militer baru."
Ia juga mengatakan kesempatan menempatkan Myanmar di jalan demokrasi kini semakin kecil kemungkinannya, seperti dilaporkan Forbes dari Reuters Kamis kemarin.
Beberapa fakta penting mengenai Myanmar antara lain sebagai berikut:
Burgener telah memperingatkan kemungkinan "perang sipil skala penuh" atas situasi berbulan-bulan di Myanmar, mengikuti kudeta militer kejam Februari lalu kala ratusan korban terbunuh dan pemimpin pemerintahan ditahan, termasuk Aung San Suu Kyi dan anggota partainya, National League for Democracy.
Ketika ditanya apakah negara tetangga Indonesia ini sudah mencapai titik terburuk perang sipil, ia menjawab, "dalam terminologi internasional kita menggunakan konflik bersenjata internal dan aku akan menggunakan terminologi ini sekarang" dan bahwa militer tidak punya "kepentingan berkompromi atau berdialog," menurut Reuters.
Pihak-pihak yang berseberangan dalam konflik ini telah berlomba-lomba mewakili Myanmar di PBB, yang akan diputuskan oleh anggota Dewan Umum PBB akhir tahun ini.
Burgener menyebutkan sanksi yang menarget Myanmar akan membantu.
Ia juga mengatakan "sangatlah penting" bahwa pemerintah-pemerintah dunia dan PBB tidak menunjukkan penerimaan kepada junta dan melindungi keinginan orang-orang, yang ikut voting setahun lalu untuk memilih pemerintahan Suu Kyi.
Kudeta militer Myanmar atau junta militer Myanmar terjadi pada 1 Februari ketika junta militer mengambil alih Myanmar.
Hal ini dilancarkan setelah partai Aung San Suu Kyi memenangkan pemilihan umum dengan kemenangan mutlak melawan oposisi dukungan militer.
Militer menghalau protes damai pro-demokrasi, dan telah membunuh 600 orang sejak saat itu, menurut kelompok monitoring yang dikutip dari New York Times.
Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya termasuk Kanada dan Inggris telah menerapkan sanksi terhadap rezim politik beberapa bulan setelah terjadinya kudeta.
Sementara itu Aung San Suu Kyi sedang dalam tahanan rumah dan akan diadili oleh junta militer.
Senin lalu, junta militer mengumumkan rencana melepas lebih dari 5600 tahanan politik yang ditahan dalam demonstrasi anti-militer tahun lalu.
Tahanan politik dilepaskan ketika Myanmar mulai merayakan hari libur tiga hari dikenal sebagai Festival Lampu sejak Selasa lalu.
Keluarga tahanan terlihat menangis dan berseru Senin itu ketika keluarga mereka dibebaskan dari bus di luar penjara Insein, kota Yangon.
Beberapa pejabat seniro dari pemerintahan sipil yang diasingkan tetap berada di penjara.
Namun tidak jelas Senin itu apakah mereka atau pemimpin protes lain akan dilepaskan.
Bagi pakar, gerakan itu, meskipun tampak ramah, adalah skema oleh militer negara tersebut untuk menumbuhkan simpati dari negara lain dan kemudian isolasi internasional bisa berakhir.
Atau sebagai pengalih perhatian dari kekacauan yang terjadi di dalam negara, mengalihkan dari pelanggaran HAM besar-besaran di Myanmar.(*)