Gridhot.ID - Memiliki kemampuan menguasai bahasa asing adalah sebuah skill tersendiri bagi seseorang.
Baru-baru ini, ada fenomena menarik di tengah masyarakat Indonesia soal penguasaan bahasa asing.
Seorang nenek berusia 81 tahun di Dusun Mulyo Katon, Kampung Toto Katon, Kecamatan Punggur, Lampung diketahui fasih berbahasa Prancis.
Nenek itu ialah Suzzani atau yang biasa dipanggil Mbah Suyan.
Dikutip dari Tribun Lampung, bukan hanya sekedar tahu bahasa Napoleon Bonaparte saja, Suzanni menceritakan panjang sejarah latar belakang keluarganya yang pada masa penjajahan Belanda dipekerjakan ke negara Kaledonia Baru di Kepulauan Pasifik.
"Sejarahnya dulu ayah bersama beberapa orang lainnya dipekerjakan ke Kaledonia (sekarang Kaledonia Baru).
Di sana ayah bekerja sebagai pekerja tambang dan menikah dengan ibu (orang asli Kaledonia)," kata Suzzani.
Dari pernikahan sang ayah dengan perempuan Kaledonia, lahir enam anak, dan Suzzani adalah anak keempat dari enam bersaudara yang lahir pada 9 November 1939.
Lahir dan tumbuh remaja di ibukota Kaledonia, Noumea, Suzzani didik dengan pendidikan orang-orang dari Prancis hingga setingkat kelas III SMP.
Dari situlah bahasa Prancis Suzzani didapatkan.
"Waktu masih di Kaledonia, sehari-harinya (ngobrol) dengan bahasa Prancis. Karena sekolah di sana pakai bahasa Prancis, ibu memang orang asli Kaledoni dan jarang sekali bicara pakai bahasa Indonesia," terangnya.
Setelah masa penjajahan selesai dan berita kemerdekaan Indonesia dari Belanda sampai ke Kaledonia, barulah Suzzani yang biasa dipanggil warga di Kampung Totokaton dengan panggilan Suyan, kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1950 pulang dengan sang ayah dan ketiga saudaranya yang lain.
Setelah beberapa waktu menetap di Jakarta dan Surabaya bersama tiga saudaranya dan sang ayah akhirnya ditempatkan di Pulau Sumatera dengan tujuan Lampung, dan akhirnya ditempatkan di Kampung Totokaton, Kecamatan Punggur.
"Kami sebagai Nyauli (bahasa Prancis untuk sebutan warga keturunan) saat itu ada beberapa kepala keluarga diberangkatkan ke Lampung pada tahun 1953, dan sebagian lagi ditempatkan di Pagar Alam (Sumatera Selatan)," terangnya.
Sebagai Nyauli bahkan Suzzani masih mengurus paspor di imigrasi untuk berpindah kewarganegaraan hingga awal tahun 1990an, dan saat ini ia telah menjadi warga negara Indonesia sepenuhnya.
Setelah menetap di Punggur, Suzzani hanya menggunakan bahasa Prancis kepada kepada ketiga saudaranya, sang ayah dan juga beberapa Nyauli lainnya yang diberangkatkan dari Kaledonia ke Lampung.
"Sehari-hari sampai beberapa tahun di Indonesia kami hanya menggunakan bahasa Prancis. Kami hanya berinteraksi dengan Nyauli lainnya, dan sangat sedikit sekali menguasai kosa kata Bahasa Indonesia," terangnya.
Usai hampir 10 tahun di Indonesia, barulah Suzzani mulai terbiasa dengan Bahasa Indonesia, dan mulai berinteraksi dengan teman-temannya yang asli pribumi dengan bahasa Indonesia dan Jawa.
"Saya belajar bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dengan orang-orang tua, karena saya takut kalau dengan teman yang seusia dikerjain (mengunakan bahasa kasar). Bahkan saya belajar bahasa Indonesia dan Jawa itu satu persatu saya hafalin dan berani diucapin," ingatnya.
Suzanni mengatakan, bahwa saat ini dirinya masih sering berkomunikasi dengan teman sewaktu di Kaledonia yang juga ditempatkan di Punggur namun berbeda kampung dengannya.
Namun, kebanyakan dari mereka, kata Suzzani, sudah meninggal dunia dan sudah sulit diajak berkomunikasi.
Berpuluh-puluh tahun terpisah dengan dua saudaranya yang lain yang masih tinggal di Kaledonia, nenek Suyan mempunyai kesempatan kembali lagi ke tanah kelahirannya itu pada 2018 lalu dan ia bersilaturahmi dengan keluarga besarnya di sana.
Di Noumea, Suzzani mengaku masih banyak mengenal nama tempat dan jalan meski saat ini sudah banyak berubah dengan berdirinya bangunan gedung di negara itu.
Saat ini, nenek yang ramah dan murah senyum ini banyak menghabiskan masa tuanya di sebuah rumah sederhana di Dusun Mulyo Katon, Kampung Totokaton, Kecamatan Punggur bersama 9 anak, 17 cucu beserta puluhan cicitnya.(*)