Gridhot.ID - Afghanistan hingga detik ini masih menjadi ladang perang.
Dikutip Gridhot dari laman wikipedia, peperangan di Afghanistan disebut sebagai kampanye perang melawan terorisme usai kejadian WTC 11 September.
Peperangan tersebut tentu saja menghasilkan lingkungan yang terpuruk terutama masalah ekonomi.
Belum juga ditambah masalah kondisi geografis dari wilayah tersebut.
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, keluarga Afghanistan terpaksa menjual anak perempuan mereka karena situasi di Afghanistan yang kian memburuk, ditambah kekeringan berkepanjangan, dan perabot habis dijual untuk biaya sehari-hari.
Ekonomi Afghanistan yang sebelumnya telah babak belur kini dihantam kekeringan berkepanjangan dan berkuasanya kembali Taliban.
Masa depan negara itu tampak suram. Taliban hingga kini masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan internasional setelah merebut kekuasaan pada pertengahan Agustus 2021.
Di dalam negeri, Taliban juga berjuang untuk memahami dan mengendalikan situasi Afghanistan yang memburuk.
Namun, rakyat miskinlah yang harus membayar harga paling mahal, seperi yang dilansir dari DW Indonesia pada Jumat (19/11/2021).
"Pandemi Covid-19, krisis pangan yang telah berlangsung, dan datangnya musim dingin semakin memperburuk keadaan," menurut laporan yang baru diterbitkan oleh UNICEF, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan kepada anak-anak di seluruh dunia.
"Pada 2020, hampir setengah dari populasi Afghanistan sangat miskin dan tidak bisa memenuhi kebutuhan seperti nutrisi dasar atau air bersih," menurut laporan tersebut.
Dan ini menggambarkan kondisi sebelum pergolakan belakangan ini.
Menurut UNICEF, jutaan anak masih membutuhkan bahan-bahan kebutuhan penting, termasuk perawatan kesehatan primer, vaksin polio dan campak, nutrisi, pendidikan, perlindungan, tempat tinggal, air dan sanitasi.
Anak perempuan terpaksa dijual
Mohammad Ibrahim, penduduk Kabul, adalah salah satu dari banyak orang yang tidak punya pilihan lain selain menawarkan anak perempuannya yang berusia 7 tahun bernama Jamila untuk dijual.
Uang hasil penjualan Jamila akan dipakai untuk membayar utang-utang keluarganya.
"Seseorang datang dan mengatakan kepada saya untuk membayar utang atau 'Saya akan membakar rumah Anda hingga jadi abu'," kata Ibrahim kepada DW.
Namun dia mendapat tawaran untuk "menyerahkananak perempuannya" guna melunasi utang.
"Pria itu orang kaya," lanjut Ibrahim. "Dan saya tidak punya pilihan lain dan saya menerima untuk menukarkan anak saya untuk membayar utang sebanyak 65.000 Afghani (sekitar Rp10 juta)."
Baca Juga: Lowongan Kerja BUMN Bank Indonesia Terbaru untuk S1 dan S2, Simak Persyaratan Lengkap Berikut
Di Provinsi Badghis di Afghanistan barat, warga telah lama mengalami kekeringan dan terpaksa meninggalkan rumah dan desa mereka.
Najeeba, anak perempuan muda yang tinggal di sebuah kamp, telah diperdagangkan oleh keluarganya dengan harga 50.000 Afghani atau sekitar Rp 7,7 juta.
"Di malam hari sangat dingin dan kami tidak punya apa-apa untuk menghangatkan rumah kami. Kami ingin LSM membantu kami," kata Najeeba kepada DW.
"Saya masihlah seorang anak perempuan. Saya punya dua saudara laki-laki, satu saudara perempuan dan seorang ibu. Saya belum mau menikah dan ingin belajar dan mengenyam pendidikan," tambahnya.
Gul Ahmad, ayah dari Najeeba, tidak melihat ada pilihan lain selain menjual anak-anak perempuannya yang lain untuk memenuhi kebutuhan.
"Saya tidak punya pilihan lain dan jika kami ditinggalkan, saya terpaksa menjual anak perempuan saya yang lain seharga 50, 30 atau bahkan 20 ribu Afghani," terangnya.
(*)