GridHot.ID - Belakangan ini, pemberitaan mengenai kampung miliader di Tuban yang mengaku menyesal menjual tanahnya ke Pertamina ramai diperbincangkan.
Diketahui, pada 18 Februari 2021, warga Desa Sumurgeneng dan sejumlah desa di wilayah kecamatan Jenu, Tuban, kaya mendadak setelah tanahnya dibeli oleh Pertamina untuk dijadikan kilang minyak Pertamina Rosneft.
Warga yang mendapat ganti rugi hingga miliaran rupiah itu kemudian berbondong-bondong membeli mobil.
Namun kini, setelah setahun berlalu, kabar tak mengenakkan datang dari warga kampung miliader itu.
Mereka dikabarkan mengalami kesulitan keuangan alias jatuh miskin.
Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ada warga yang menjual sapi miliknya.
Melansir Tribun Jatim, terkait kabar tersebut, sejumlah kepala desa (Kades) kampung miliarder di Tuban buka suara.
Di antaranya Kades Wadung dan Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban.
"Warga kami yang terdampak ada 151 kartu keluarga (KK), namun yang punya lahan sekitar 20 persenan, sisanya bangunan rumah sudah direlokasi," kata Kades Wadung, Sasmito kepada wartawan, Kamis (27/1/2022).
Ia menjelaskan, memang warga sudah banyak yang mengeluh, terutama yang sebelumnya bekerja sebagai buruh tani.
Sebab, saat ini tidak ada lagi lahan yang digarap karena sudah menjadi milik Pertamina setelah adanya pembebasan.
Mengenai pekerjaan dari Pertamina juga belum banyak lowongan, namun ia meyakini jika proyek sudah berjalan, akan banyak serapan tenaga kerja.
"Memang keluhan datang dari buruh tani yang belum kerja, di sisi lain juga belum ada progres yang signifikan terkait kilang," ujarnya.
Sementara itu, Kades Sumurgeneng, Gihanto, mengurai fakta tak terduga.
Giharo menepis kabar uang ganti rugi lahan dari Pertamina banyak yang habis.
"Tidak benar itu warga uangnya habis, walaupun saya tidak tahu isi rekeningnya," terang Gihanto.
Ia menjelaskan, hasil jual lahan dibelikan lahan di luar desa yang lebih luas, karena harga Rp 600 ribu/meter yang diterima warga dari pembebasan lahan jika dibelikan di luar dapat harga Rp 200 ribu/meter, maka bisa dapat 3 kali lipat.
Sedangkan untuk buruh tani juga masih bekerja ikut orang lama yang membeli lahan baru di luar desa, jadi masih tetap kerja juga.
"Lahan warga penerima ganti rugi dari Pertamina juga masih, jadi tidak benar itu uang warga habis, justru semakin sejahtera," pungkasnya.
Sementara itu, disebutkan juga berbagai tuntutan yang diharapkan oleh penduduk sekitar yang terdampak.
Para pengunjuk rasa membawa lima tuntutan saat aksi yang ditujukan pada perusahaan patungan Pertamina dan Rosneft asal Rusia.
Korlap aksi, Suwarno mengatakan, ada lima tuntutan dari masyarakat ring perusahaan.
1. Memprioritaskan warga terdampak terkait rekrutmen sekuriti
2. Semua vendor yang ada di Pertamina di dalam rekrutmen tenaga kerja harus berkoordinasi dengan desa
3. Sesuai dengan janji dan tujuan pembangunan, Pertamina harus memberi kesempatan dan edukasi terhadap warga terdampak
4. Jika Pertamina bisa mempekerjakan pensiunan yang notabennya usia lanjut, mengapa warga terdampak yang harusnya diberdayakan malah dipersulit untuk bekerja dengan dalih pembatasan usia
5. Keluarkan vendor maupun oknum di lingkup project Pertamina yang tidak pro terhadap warga terdampak.
"Aksi ini adalah buntut dari ketidakterbukaan Pertamina terhadap desa di ring perusahaan, kita mendesak tuntutan direalisasikan," ujarnya kepada wartawan.
Warga yang ikut aksi juga menyatakan menyesal menjual lahan dan rumahnya untuk GRR, karena saat ini sudah tidak bisa lagi bekerja.
"Saya sudah jual sapi tiga ekor untuk bertahan, karena tidak bisa bekerja, lahan sudah dibeli Pertamina," ungkap Musanam (60), peserta aksi.
Informasi yang diperoleh dari Kompas.com, warga desa di wilayah Kecamatan Jenu ini mendapat uang ganti rugi lahan melalui proses penetapan Konsinyasi di Pengadilan Negeri (PN) Tuban. Proses itu selesai pada 10 Desember 2020 lalu.
Banyaknya ganti rugi yang diterima warga lantaran nilai proyek kilang Tuban juga fantastis. Yaitu sebesar Rp 211,9 triliun dan membutuhkan pembebasan lahan seluas 811,9 hektar.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kilang Tuban membutuhkan 20.000 tenaga kerja pada saat konstruksi dan 2.500 pekerja saat sudah beroperasi. Targetnya, Kilang Tuban akan beroperasi pada 2026.
Proyek kilang Tuban merupakan bagian dari program mega proyek kilang Pertamina yang terdiri dari Refinery Development Master Plan (RDMP) dan kilang baru (Grass Root Refinery/ GRR).
Dalam proyek ini, Pertamina bekerja sama dengan perusahaan migas asal Rusia, Rosneft. Pada 2017, kedua perusahaan itu membentuk PT Pertamina Rosneft dengan komposisi saham 55% Pertamina dan 45% Rosneft.
Namun pembangunan kompleks kilang raksasa ini menemui banyak kendala. Seperti pembebasan lahan, perizinan hingga penyelesaian kontrak. Proyek ini juga sempat termasuk dalam daftar Rp 708 triliun investasi yang mangkrak.
Padahal, Kilang Tuban masuk dalam proyek infrastruktur prioritas sejak masa kabinet pertama Presiden Joko Widodo. Hingga pada awal 2020, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, ikut menangani pembebasan lahan bersama Pemprov Jawa Timur, Pemkab Tuban serta Pertamina.
Kilang Tuban nantinya akan menjadi salah satu kilang tercanggih di dunia yang memiliki kapasitas pengolahan sebesar 300 ribu barel per hari, yang akan menghasilkan 30 juta liter BBM per hari untuk jenis gasoline dan diesel.
(*)