Gridhot.ID - Indonesia kini merayakan hari Kemerdekaan yang ke-77.
Presiden Jokowi diketahui memimpin upacara peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara pada pukul 09.00 pagi.
Kemerdekaan Indonesia diketahui berhasil diraih berkat seluruh perjuangan rakyat Indonesia di masa lampau.
Beberapa tokoh yang berpengaruh bahkan mendapat gelar sebagai pahlawan Indonesia.
Salah satu yang cukup terkenal terkait beberapa peperangan di Pulau Jawa adalah Pangeran Diponegoro.
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Pangeran Diponegoro juga dikenal dengan nama Raden Mas Ontowirijo.
Dirinya lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785.
Pangeran Diponegoro terkenal akan perannya di Perang Jawa.
Dikutip Gridhot dari Intisari, Pangeran Diponegoro memimpin kurang lebih 100,000 pasukan. Sedang pasukan Belanda dipimpih oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang memiliki kekuatan 50.000 pasukan.
Perang Jawa yang dikobarkan Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-1830 membuat Belanda kehilangan ribuan tentara dan biaya. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa
Sementara itu buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (2014) dan Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa (2012) oleh sejarawan Universitas Oxford, Peter Carey, menuliskan ada cerita-cerita yang tidak terduga dari pangeran Diponegoro yang bahkan disebut "lebih aneh dibandingkan khayalan".
Menurut Peter Carey sendiri untuk penampilan fisik, Diponegoro tidak dapat disebut setampan Arjuna, tapi bisa dikatakan "cukup enak dipandang oleh mata Jawa."
Ia menikah beberapa kali, pada pernikahannya yang pertama ia menikah dengan anak seorang ulama terkemuka dari Desa Dadapan, dekat Tempel, yaitu Raden Ayu Madubrongto.
Namun ia kemudian menikah lagi dengan Raden Ayu Retnokusumo atas desakan orangtuanya, Sultan Hamengkubuwono III, dalam sebuah pernikahan sarat politik karena Raden Ayu Retnokusumo adalah putri Bupati Panolan, Kesultanan Yogyakarta, Raden Tumenggung Notowijoyo III.
Sepanjang hidupnya Diponegoro memiliki tujuh istri resmi dan gundik atau selir yang tidak terhitung banyaknya, di Tegalrejo ia memiliki 4 istri resmi dan beberapa selir.
Ada seorang selirnya yang terakhir konon cukup cantik sampai memancing sifat mata keranjang Asisten Residen Belanda untuk Yogyakarta, P.F.H Chavelier (1823-1825).
Selir itu dikabarkan hidup bersama asisten residen beberapa bulan sebelum Perang Jawa.
Peter Carey mencatat Diponegoro memiliki 17 anak, 12 laki-laki dan 5 perempuan, semua dari istri-istri resminya.
Kemudian di masa perang pasca kematian istri keempat sekaligus istri yang paling dikasihinya, Raden Ayu Maduretno pada November 1827, ia menikahi 3 istri baru.
Salah satunya adalah Raden Ayu Retnoningsih (1810-1885), putri Bupati Madiun serta kemenakan perempuan Raden Ronggo Prawirodirdjo III.
Raden Ayu Retnoningsih masih berusia 17 tahun ketika dinikahi Diponegoro, dan sebagai satu-satunya istri resmi yang menemani Diponegoro dalam pengasingan, Raden Ayu Retnoningsih memberi dua anak untuk Diponegoro.
Diponegoro memang lemah terhadap perempuan, daya tariknya sangat besar bagi kaum hawa, dan ia mengakui sifat yang mengganggu di masa mudanya adalah "sering tergoda oleh perempuan".
Diponegoro juga bangga dalam keahliannya menaklukkan hati wanita, seperti diceritakan Residen Manado Pietermaat (menjabat 1827-1831) jika “percakapan yang paling digemarinya adalah tentang perempuan-perempuan yang melihatnya sebagai seorang kekasih yang menawan.”
Peter Carey juga mengatakan ketika Diponegoro sakit malaria ketika 3 bulan akhir perang, ia masih mampu bermain-main dengan janda-dukun, Nyai Asmaratuna, yang merawatnya di Desa Sebodo di timur Bagelen.
Di Manado Pangeran Diponegoro juga pernah ingin menikahi perempuan setempat yaitu putri dari seorang warga Muslim terkemuka, Letnan Hasan Nur Latif.
Ayah putri itu menolak karena jika ia menikahkan putrinya dengan Diponegoro hanya akan membawa putri kepada nasib buruk.
Kemudian ada fakta yang jarang diketahui orang yaitu selama Perang Jawa, Pangeran Diponegoro menganggap Gawok, luar Surakarta, 15 Oktober 1826, menjadi lokasi kekalahannya yang terbesar.
Ternyata di Gawok sebelum pertempuran berlangsung, ia tidur dengan seorang perempuan muda China yang bukan istri resminya bukan pula selirnya.
Perempuan itu adalah tawanan perang di Kedaren dan Diponegoro mempekerjakannya sebagai tukang pijatnya.
Skandal itu disesali Diponegoro dan ia anggap alasan kekalahan sekaligus penyebab ia terluka di bagian dada dan tangan, dan ia menganggap kesenangan seksualnya telah menetralkan kekebalannya.
(*)