Gridhot.ID - Pentolan KKB Papua, Benny Wenda telah puluhan tahun menentang bergabungnya Papua ke Indonesia dan berupaya menjadikan Papua merdeka.
Benny Wenda menjadi salah satu sosok yang bergerak secara internasional untuk berusaha memisahkan Papua dari Indonesia.
Benny Wenda juga membentuk United Liberation for West Papua (ULMWP) atau Serikat Pembebasan Papua Barat.
Terbaru, Presiden Sementara Pemerintahan PapuaBarat (ULMWP) itu mengungkapkan bahwa sebanyak 140 organisasi dunia menyatakan mendukung PapuaBarat merdeka.
Melansir Pos-Kupang.com, Benny menyebut dukungan yang diberikan untuk penentuan nasib sendiri dan langkah menciptakan NegaraHijau PapuaBarat.
Selain organisasi dunia, lanjut Benny, dukungan juga datang dari individu, di antaranya Noam Chomsky, Peter Tatchell, Benjamin Zephaniah, Jeremy Corbyn, dan George Monbiot.
Di bawah ini adalah surat terbuka yang ditandatangani oleh lebih dari 140 organisasi dan individu untuk mendukung Visi NegaraHijau ULMWP, yang diluncurkan tahun lalu di COP26.
Kami, anggota parlemen, organisasi lingkungan, akademisi, dan lainnya mengakui pentingnya melindungi salah satu hutan hujan terbesar dan paling beragam di dunia: PapuaBarat.
Untuk mengatasi darurat iklim, kita harus mendukung solusi yang datang dari masyarakat adat di PapuaBarat.
Saat ini, pertambangan emas dan tembaga, ekstraksi minyak dan gas, perkebunan kelapa sawit dan proyek pembangunan jalan raya, yang dipromosikan dan diizinkan di bawah pemerintahan kolonial Indonesia, menghancurkan lingkungan alam PapuaBarat dan berkontribusi terhadap keruntuhan iklim global.
Orang PapuaBarat membayangkan NegaraHijau baru berdasarkan perlindungan lingkungan dan sosial, pengelolaan lingkungan adat dan penghormatan terhadap alam.
Tatanan sosial baru ini akan memulihkan dan melindungi lingkungan, serta menjaga keseimbangan dan keharmonisan di dalam dan di antara manusia dan lingkungan.
Orang PapuaBarat bermaksud untuk mengelola hutan hujan New Guinea dan keanekaragaman hayatinya secara berkelanjutan untuk kebaikan komunitas global.
Kami memberikan dukungan sepenuh hati kami untuk hak penentuan nasib sendiri orang PapuaBarat dan langkah mereka untuk menciptakan NegaraHijau pertama di bumi.
Surat tersebut ditandatangani perwakilan organisasi dan individu.
Organisasi/Gerakan :Global Justice Now, Indigenous Environmental Network, Green New Deal Rising, No White Saviors, Stop Ecocide, International, Extinction Rebellion UK, Fridays For Future Scotland, Students Organising for Sustainability International, UK Youth Climate Coalition, National Union of Students (UK), Pacific Islands Climate Action Network, Young Labour UK, Momentum, Open Labour, The World Transformed, Peace and Justice Project UK, Tipping Point UK danFridays For Future Glasgow.
Selanjutnya, Fridays For Future Nederland, Labour for a Green New Deal, UK Student Climate Network London (UKSCN London), BP or Not BP?, Pacific Climate Warriors, Lawyers for Nature, PlanB.Earth, Women Defend Commons Network (PSIDS and Global), Rettet die Naturvölker e.V. – RdN (Friends of People Close to Nature), Extinction Rebellion Internationalist Solidarity Network dan Students Organising for Sustainability UK.
Kemudian, Stop the Maangamizi: We Charge Genocide/Ecocide Campaign, Extinction Rebellion Mexico, Extinction Rebellion Africa (representing 57 groups in 17 countries), Extinction Rebellion Australia, Extinction Rebellion Ireland, Extinction Rebellion Argentina, Extinction Rebellion Netherland, Jongeren Milieu Actief (Young Friends of the Earth Netherlands), Free West Papua Campaign, Grassroots for West Papua, West Papua Action Aotearoa, Merdeka: West Papua Support Network International Lawyers for West Papua (ILWP) dan West Papua Support Dunedin (Aotearoa New Zealand).
Berikutnya, Qaqa Fiji Grassroots Feminist Young Women’s Network, Pacific Islands Students Fighting Climate Change, Save America’s Forests, Youth Advocates for Climate Action Philippines, Alliance for Future Generations – Fiji, Center for Environmental Concerns – Philippines, Pacific Partnerships on Gender, Climate and Sustainable Development (PSIDS) Asia Pacific Network of Environment Defenders, Sinchi Foundation, Tenkile Conservation Alliance, Peace Movement Aotearoa, dan Australian Centre for International Justice.
Selain itu, Diverse Voices and Action (DIVA) for Equality, Land in Our Names, Intersectional Environmentalist, Huerto Roma Verde, Royal Forest & Bird Protection Society of New Zealand Inc, Young Friends of the Earth Europe, No Borders in Climate Justice, Labour Friends of West Papua, dan ONCA.
Anggota Parlemen :Adapun anggota parlemen yang ikut menandatangani surat tersebut, yaitu Jeremy Corbyn MP (UK), Cllr Carla Denyer (Co-Leader, Green Party, UK), Adrian Ramsay (Co-Leader, Green Party, UK), Amelia Womack, (ex-Deputy Leader, Green Party, UK), Caroline Lucas MP (Green Party, UK), Nadia Whittome, MP (Labour, UK), Alex Sobel MP (Labour, UK), Richard Burgon MP (Labour, UK), Alan Whitehead MP (Labour, UK), Lord Richard Harries of Pentregarth, Jonathan Edwards MP (UK), Patrick Grady MP (UK), Lord Lexden, Alistair Cooke, (Conservative, UK), President Carles Puigdemont (MEP, Catalonia), Baroness Jenny Jones of Moulsecoomb (Green Party, UK) dan Baroness Helena Kennedy QC (Labour, UK).
Berikutnya, Baroness Natalie Bennet of Manor Castle (Green Party, UK), Baroness Ruth Lister of Burtersett (Labour, UK), Mercedes Villalba MSP (Scottish Labour, UK), Lord John Kilclooney (Northern Ireland, Crossbencher), Senator Gorka Elejabarrieta (Basque Country), Marama Davidson MP (Green Party Aotearoa New Zealand – Co-leader), Ricardo Menendez March MP (Green Party Aotearoa New Zealand), Teanau Tuiono MP (Green Party Aotearoa New Zealand), Jan Logie MP (Green Party Aotearoa New Zealand), Dr Elizabeth Kerekere MP (Green Party Aotearoa New Zealand), dan Eugenie Sage MP (Green Party Aotearoa New Zealand).
Kemudian, ada Golriz Ghahraman MP (Green Party Aotearoa New Zealand), Senator Lidia Thorpe (The Australian Greens) dan Senator Janet Rice (The Australian Greens).
Individu :Individu atau tokoh yang ikut menandatangani, yaitu George Monbiot, Author, Writer and Campaigner; Professor Benjamin Zephaniah, Poet, Writer and Musician; Mikaela Loach, Climate Justice Activist; Ryan Phillippe, Actor; Noam Chomsky, Philosopher, Writer, and Activist; Dalia Gebrial, Writer and Activist; Scarlett Westbrook, Climate Justice Activist; Peter Tatchell, Director, Peter Tatchell Foundation; Jay Griffiths, Author and Writer; Mitzi Jonelle Tan, Climate Justice Activist; dan Joseph Corré, Activist and Businessman.
Selanjutnya, Dr. Keir Milburn, Author and Lecturer; Guy Shrubsole, Environmental Campaigner and Author; Nick Hayes, Author, Illustrator and Printmaker; Esther Stanford-Xosei, Reparations Specialist, Legal Advisor, International Advocate; Leah Thomas, Climate Justice Advocate; Andrew Feinstein, Writer and Campaigner; Dominique Palmer, Climate Justice Activist; Most Revd Dr.Thabo Makgoba from the Anglican Church of Southern Africa; India Logan-Riley, Climate Justice Activist; Adam McGibbon, Climate, Union and Electoral Organiser dan Joseph Sikulu, Pacific Managing Director of 350.org
Kemudian, Stephen Corry, Former CEO of Survival International; Eleanor Penny, Writer and Activist; Polly Smythe, Journalist; Amardeep Singh Dhillon, Writer and Organiser; Lavetanalagi Seru, Pacific Climate Justice Activist; Hugh Warwick, Ecologist and Author; Jean Thomas, Award-winning Conservationist; Amy-Jane Beer, Naturalist and Writer; James Schneider, Writer and Campaigner; Paccha Turner Chuji, Indigenous activist and artist; Julie Wark, Writer and human rights activist; Jean Wyllys, Journalist, Writer, and former Member of the Brazilian Parliament dan Nabeela Mowlana, Chair of Young Labour.
Pengacara :(Internasional, Hak Asasi Manusia dan Lingkungan/Iklim) yakni: Jennifer Robinson, Human rights lawyer and ILWP Co-founder; Farhana Yamin, Climate Lawyer, Visiting Professor, UAL; Harpreet Kaur Paul, Human rights lawyer and activist; Paul Powlesland, Barrister, Garden Court Chambers; Matthew Happold, Barrister and Professor of Public International Law; Elizabeth Evatt AC, Lawyer and Chief Justice (retired) dan Fadjar Schouten-Korwa, Human Rights Lawyer.
Akademisi :Adapun akademisi yang ikut menandatangani surat dimaksud, yakni Professor Charles Foster, University of Oxford; Professor Keith Hyams, University of Warwick; Dr Siobhan McDonnell, Australian National University; Dr James Elmslie, West Papua Project, University of Wollongong; Dr Cammi Webb-Gannon, University of Wollongong; Dr Lisa Tilley, SOAS University of London; Dr Will Lock, University of Sussex; Associate Professor Katerina Teaiwa, Australian National University; dan Associate Professor Rebecca Monson, Australian National University.
Siapa Benny Wenda?
Mengutip Kompas.com, Benny Wenda merupakan warga negara Inggris dan kini tinggal di Oxford, Inggris.
Benny lahir di Papua pada 17 Agustus 1974.
Ia telah puluhan tahun menentang bergabungnya Papua Barat ke Indonesia dan berupaya menjadikan Papua merdeka.
Benny menempati posisi sekretaris jenderal Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (DMMK).
Pada 2002, Benny mendapat suaka. Ia kabur ke Inggris setelah diburu pemerintah atas tuduhan berbagai aksi kekerasan.
Dalam lobi-lobi saat itu, tawaran pemerintah Indonesia seluruhnya ditolak mentah-mentah.
Pada 11 Juni 2002, disebutkan bahwa Benny ditangkap polisi lantaran dugaan telah menghasut masyarakat dan memimpin sejumlah pertemuan gelap menyerang pos-pos TNI/Polri saat itu.
Penangkapan tersebut tak diterima masyarakat Jayawijaya. Mereka melakukan demo ke kantor DPRD Papua dengan tuntutan segera membebaskan Benny Wenda.
Saat itu, polisi menyita barang bukti berupa paspor Indonesia dan paspor Papua Nugini milik Benny.
Pada 29 Oktober 2002, Benny dan satu tahanan lain, Lasaeus Welle melarikan diri dari rumah tahanan dengan mencongkel jendela kamar mandi.
Benny merupakan saudara kandung dari pimpnan Organisasi Papua Merdeka (OPM) Pegunungan Tengah, Matias Wenda.
Penyerangan Polsek Abepura pada 6 Desember 2001 silam diduga atas kerja sama Benny bersama Matias di wiayah perbatasan Jayapura-Papua Niugini (PNG).
Sekitar 500 warga Jayawijaya dikerahkan ke perbatasan Jayapura-PNG dengan dalih alasan keamanan di Jayapura tak terjamin.
Kelompok ini juga melakukan pembantaian enam warga pendatang pekerja kayu di perbatasan RI-PNG pada Desember 2001.
Kerusuhan Papua dan Papua Barat yang memanas pada Agustus 2019 lalu juga disebutkan ada peran Benny Wenda.
Diberitakan pada2 September 2019 lalu, Benny mengaku mengeluarkan surat edaran yang menginstruksikan agar rakyat Papua tak ikut upacara kemerdekaan.
Tapi, menurut Benny, aksi demonstrasi disertai kerusuhan di Papua dan Papua Barat dianggap sebagai spontanitas masyarakat di sana.
Kiprah dan jaringan yang cukup luas di ranah Internasional, membuat Benny Wenda pernah bertemu Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB pada 25 Januari 2019.
Pemerintah Vanuatu menjadi pihak yang memfasilitasi pertemuan tersebut.
Kehadiran Benny mengejutkan KTHAM lantaran pembahasannya berbeda dengan tujuan kedatangan delegasi Vanuatu, yaitu membahas pelaksanaan Universal Periodic Review (UPR) HAM Vanuatu.
Benny juga tak tercatat sebagai delegasi resmi Vanuatu.
Pemerintah RI pun melayangkan protes keras terhadap Pemerintah Vanuatu.
(*)