Gridhot.ID - Sedang geger kasus tambang ilegal yang menyeret petinggi Polri Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto.
Kasus tambang ilegal ini bahkan hingga menyebut nama Ferdy Sambo dan Brigjen Hendra Kurniawan.
Dikutip Gridhot dari Tribun Medan, kasus tambang ilegal ini bermula dari pengakuan eks anggota Polres Samarinda Ismail Bolong.
Video pengakuan yang dibuat Ismail Bolong iu menyebut petinggi polri Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto turut mendapat setoran untuk mengamankan usaha tambang ilegal.
Dalam kegiatan pengepulan batu bara ilegal tersebut, Ismail Bolong mengaku mendapat keuntungan sekitar Rp 5-10 miliar setiap bulan.
Dari usaha itu, Ismail Bolong mengaku telah menyetor duit miliaran rupiah kepaa Komjen Agus Andrianto.
Pengakuan Ismail Bolong belakangan terungkap lewat dokumen surat hasil penyelidikan Divpropam Polri yang ditandatangani Eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
Sambo yang kini menjadi terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J membenarkan surat yang mencantumkan nama-nama orang yang terlibat dalam kasus tambang ilegal, termasuk Komjen Agus Andrianto.
Namun, Eks Karopaminal itu membantah dirinya terlibat dalam kasus tambang ilegal itu.
Akibatnya, kasus ini kini mejadi sorotan tajam banyak mata.
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang kepolisian Bambang Rukminto tak yakin kasus dugaan tambang ilegal yang menyeret nama Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Agus Andrianto merupakan upaya balas dendam Ferdy Sambo dan gengnya.
Sebabnya, perkara itu sudah diperiksa Sambo sebelum kasus kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J bergulir.
Saat itu, Sambo masih menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri.
"Kalau kemudian Kabareskrim merasa diserang ini menjadi aneh karena pemeriksaan itu ditandatangani Ferdy Sambo tanggal 7 April," kata Bambang kepada Kompas.com, Sabtu (26/11/2022).
"Artinya saat itu tidak ada tendensi balas dendam atau tidak ada kepentingan-kepentingan dari Hendra Kurniawan (mantan Karo Paminal Divpropam Polri) atau Ferdy Sambo untuk menjatuhkan Kabareskrim," tuturnya.
Namun, di satu sisi, Bambang juga heran. Jika Kabareskrim dan para petinggi Polri lainnya terindikasi terlibat, seharusnya pengusutan kasus ini terus dilanjutkan.
Semestinya, para pihak yang diduga menerima aliran uang panas diproses hukum.
Dalam ranah Divisi Propam Polri, pihak-pihak yang terlibat minimal dikenai sanksi etik.
Oleh karenanya, Bambang mendorong agar kasus dugaan tambang ilegal ini diusut secara serius.
Jika ada petinggi Polri yang terbukti terlibat, mestinya dia diganjar hukuman setimpal, bukannya justru ditutup-tutupi.
"Yang lebih penting daripada itu semua adalah substansi dari kasus ini, bahwa di internal kepolisian itu ada problem yang harus diselesaikan," ujarnya.
Pascakasus kematian Brigadir Yosua, Bambang mengatakan, "perang bintang" antara para petinggi Korps Bhayangkara memang sangat mungkin terjadi.
Terbuka peluang upaya saling menjatuhkan antarfaksi di tubuh Polri.
Namun, menurut dia, momen ini justru bisa dimanfaatkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk bersih-bersih internal lembaga yang dia pimpin.
Kapolri diminta untuk memperkuat sistem kontrol dan pengawasan internal sehingga para personel Polri bisa bekerja sesuai aturan tanpa banyak melakukan pelanggaran.
Ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi Polri yang angkanya terus menurun sejak kasus Ferdy Sambo, disusul dengan tragedi Kanjuruhan serta kasus Irjen Teddy Minahasa.
"Saya tidak tahu bagaimana membangun kepercayaan masyarakat tanpa ada pengusutan kasus ini secara tuntas, membangun kepercayaan masyarakat tentunya juga dengan langkah-langkah yang konkret dan transparan dan akuntabel," kata dia.
(*)