GridHot.ID - Nama Ningsih Tinampi kembali mencuat ke permukaan.
Namun, kali ini bukan soal pengobatan tradisional yang dikelolanya melainkan soal polemik hak asuh anak.
Dilansir dari Tribun Jatim, sekitar tiga tahun lalu, ada seorang bernamaClara Angeline asal Sidoarjo datang ke pengobatan alternatif Ningsih Tinampi di Pandaan, Kabupaten Pasuruan.
Clara mengaku sakit perut sudah 10 tahun dan tidak sembuh sekalipun sudah dibawa ke beberapa tempat pengobatan.
Singkat cerita, ternyata setelah satu bulan dirawat di tempat praktik Ningsih Tinampi, Clara melahirkan seorang anak laki-laki.
"Saya sebenarnya sejak awal sudah curiga dengan gelagat Clara. Saya yakin ada yang disembunyikan dari keluarganya," katanya pada Surya Malang, Jumat (2/12/2022) sore.
Setelah melahirkan, kata Ningsih, perwakilan keluarga Clara menawarkan bayi itu ke beberapa orang untuk mengasuhnya.
"Karena tetangga saya ini tidak berlebih, saya putuskan saya yang mengasuhnya. Itu bapaknya Clara yang memberikan ke saya," terangnya.
Namun, perjalanan waktu, Ningsih Tinampi yang banyak kesibukan karena pasiennya bertambah akhirnya menitipkan anak itu ke kerabatnya.
Setelah tiga tahun merawat dan membesarkan anak itu, kata Ningsih, tiba-tiba petugas Dinas Sosial Kabupaten Pasuruan datang ke rumah kerabatnya.
Mereka tidak datang sendirian tapi rombongan. Ada juga perwakilan dari tim PPT PPA dan perwakilan Polres Pasuruan.
Rombongan petugas itu mendadak minta anak yang dirawat dikembalikan ke orang tuanya yakni Clara. Hal itu membuat Ningsih dan kerabatnya kaget.
"Saya kecewa dengan penanganan yang menggunakan cara-cara pemaksaan dan tanpa tata krama," ungkap dia.
Ia secara pribadi, tidak akan menahan anak ini. Namun, apakah dengan cara seperti ini setelah tiga tahun tidak memberi kabar.
"Apa seperti ini caranya berterima kasih ke kami. Misalnya, berbicara baik-baik kan bisa tanpa harus melapor dan memfitnah keluarga ini," ujarnya.
Iamengaku kecewa dengan sikap dari petugas Dinas Sosial Kabupaten Pasuruan yang datang bersama rombongan.
Ningsih kemudian meminta Dinas Sosial Kabupaten Pasuruan tidak mengulangi cara-cara pemaksaan untuk mengambil alih hak asuh.
Dinas Sosial harus mempertimbangkan faktor psikologis dan kejiwaan anak dan orangtua yang telah mengasuhnya selama tiga tahun.
Menurutnya, proses asuh anak itu didasarkan atas rasa kemanusiaan. Jadi, perlu dipertimbangkan psikis anak dalam ini.
Ningsih juga menyebut bahwa penyerahan anak ini dilakukan oleh ibu dan keluarga karena tidak mengakui anak hasil hubungan gelap.
"Clara dan ayahnya sudah menandatangani pernyataan penyerahan anaknya. Ini juga disaksikan aparat Babinsa, Babinkamtibmas," paparnya.
Disampaikan Ningsih, keluarganya justru sudah berniat baik dengan menolong agar anak yang tidak dikehendaki keluarganya ini menjadi anak terlantar.
Di sisi lain, dr Aris Budi Pratikto, Sub Koordinator Rehabilitasi Sosial Anak dan Lanjut Usia Dinas Sosial Kabupaten Pasuruan, menyangkal upaya pemaksaan.
"Kami bergerak setelah menerima limpahan pengaduan dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (PPT PPA) Kabupaten Pasuruan," paparnya.
Ia mengaku tidak tahu, Clara mengadu ke PPT PPA menyertakan bukti otentik bahwa ia adalah ibu kandung anak tersebut.
"Kami hanya ingin melakukan mediasi dan menempatkan hak asuh dan perlindungan anak secara prosedural," tambah dia.
Menurut dr Aris, pihaknya tidak pernah melakukan upaya paksa dan intimidasi dalam proses tersebut. Mediasi para pihak juga sudah dilakukan.
“Mediasi sudah kami lakukan dua kali. Kami ingin agar prosedur hak asuh anak yang menjadi anak negara dilakukan secara benar," kata Aris.
Untuk prosesnya, kata dia, anak itu harus diserahkan ke negara. Setelah itu, Clara akan dan kerabat ningsih tinampi akan ikut assesment.
"Assesment itu untuk mengetahui siapa yang berhak atas anak ini, Sehingga hak dasar dan perlindungan anak terjamin," sambungnya.
Direktur LBH Pijar, Lujeng Sudarto, yang menjadi pendamping ibu angkat anak, menyatakan kekecewaannya atas tindakan ini.
Ia tidak membenarkan, proses pengambilan hak asuh dengan cara pemaksaan seperti yang dilakukan selama ini.
Menurutnya, para pihak tidak bisa hanya memperhatikan prosedural adopsi anak, tetapi juga harus secara substansial persoalan tersebut.
Karena faktanya, Clara tidak memiliki tanggung jawab ketika melahirkan anak ini, justru ditawarkan ke beberapa pihak untuk merawat anak itu.
"Yang menjadi ironis, Dinas Sosial bertindak cepat hanya berdasarkan pengakuan sepihak dari pihak Clara," urainya.
Menurutnya, Dinsos tidak mempertanyakan bukti otentik bahwa anak yang diasuh Ningsih Tinampi adalah anak kandung Clara.
"Dinas Sosial tidak bisa memaksakan kehendak atas dasar anak tersebut menjadi anak negara. Harus dilihat secara substansial," jelasnya.
Utamanya, dengan memperhatikan psikologis dan kejiwaan anak dan orangtua yang mengasuhnya. Dinas Sosial tidak fair dan tidak adil.
Putusan hasil akhir
Melansir Tribun Jateng, mediasi kedua belah pihak yang dilakukan Polres Pasuruan memutuskan untuk mengembalikan hak asuh anak ke pihak ibu kandung, Clara Angeline.
Pihak Ningsih Tinampi mengaku sedih dengan hasil mediasi tersebut.
Bayi berusia 3 tahun 8 bulan yang mereka rawat sejak lahir, harus dikembalikan kepada Clara Angeline. (*)