Egianus Kogoya Dibongkar Masa Kecilnya, Sosok Intelektual Ini Sebut Bos KKB Papua Dulu Minderan dan Tertutup, Begini Kisahnya

Jumat, 24 Maret 2023 | 16:00
IST/Pos-Kupang.com

Egianus Kogoya, pimpinan KKB Papua yang kini menyandera pilot Susi Air

Gridhot.ID -Pimpinan KKB Papua Egianus Kogoya dikenal sadis dan tak segan melakukan serangan brutal dengan membunuh warga sipil maupun aparat TNI-Polri.

Terbaru, Egianus Kogoya menyandera pilot Susi Air, Kapten Philips Marthen setelah KKB Papua membakar pesawat di Bandara Paro, Nduga, Papua Pegunungan.

Kelompok Egianus Kogoya telah menyandera Kapten Philips Marthen selama lebih satu bulan.

Melansir dari Tribun-Medan.com, catatan kejahatan Egianus Kogoya dimulai pada Desember 2017. Ia sudah dikategorikan sebagai teroris.

Berdasarkan catatan, Egianus telah melakukan 65 kali aksi kekerasan bersenjata yang menyebabkan 74 orang luka-luka dan meninggal.

"74 orang yang meninggal dan luka-luka itu terdiri dari aparat keamanan dan warga sipil," kata Kasatgas Humas Damai Cartenz Kombes Donny Charles Go di Jayapura.

Dijelaskan, aksi kekerasan bersenjata yang dilakukan sejak tahun 2017 itu terdiri dari 31 aksi penembakan, 16 aksi kontak tembak, delapan aksi penyerangan, 3 aksi pembantaian dan 2 aksi pembakaran.

Kelompok Egianus juga tercatat pernah melakukan aksi pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pengancaman, dan penyanderaan pilot.

"Polda Papua telah menerbitkan 16 orang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) untuk dilakukan tindakan hukum," ujar Donny.

Lalu siapa sebenarnya Egianus Kogoya?

Melansir dari Tribunnews.com, Egianus Kogoya merupakan pimpinan KKB Papua di Kabupaten Nduga.

Baca Juga: Komandan Operasi Damai Cartenz Turun Tangan, Ini Profil Kombes Faizal Ramadhani yang Kerahkan Pasukan untuk Amankan 3 Wilayah Rawan KKB Papua

Ia tergolong muda sebagai pimpinan KKB Papua. Egianus lahir pada tahun 1999, yang berarti saat ini masih berusia 24 tahun.

Egianus sendiri adalah putra tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) Solas Kogoya.

Sebelum mendirikan kelompok militer sendiri, Egianus bergabung dengan Goliath Tabuni, pimpinan KKB Papua di Puncak Jaya.

Dikutip dari catatan Facebook Marinus Yaung, Egianus memiliki banyak penyebab bertindak brutal di tanah kelahirannya, Papua.

Berikut tulisan dari Marinus Yaung yang telah dipublikasikannya di Facebook pada 8 Maret 2022:

Kenapa Egianus Kogoya Pemimpin KKB Nduga Begitu Brutal dan Sadis?

Jawabanya karena Egianus Kogoya sewaktu sekolah di kota Wamena, Jayawijaya, tidak disentuh dengan pendidikan yang baik dan berkualitas, serta didukung oleh guru-guru yang berkompeten dan mengajar serta mendidik dengan hati yang penuh ketulusan.

Saya tahun 2014 ketika melakukan penelitian bersama seorang teman di Wamena dan Nduga, kami sempat temukan fakta bahwa wilayah pembangunan tiga di kabupaten Nduga, dari habema, mbua, dal sampai mugi, sangat tertinggal dan terisolir dalam pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Ini wilayah yang menjadi hak ulayat keluarga Egianus Kogoya.

Hampir sebagian besar balita dan anak-anak tidak pernah mendapat suntikan imunisasi. Sehingga kematian bayi dan anak sangat tinggi di wilayah ini.

Selain krisis kesehatan, proses pendidikan juga tidak berjalan maksimal. Banyak guru-guru tidak bekerja di wilayah ini. Mereka lebih banyak beraktivitas di kota Wamena. Banyak anak usia sekolah dasar, tidak bisa menikmati pendidikan karena guru cuma satu yg aktif. Itupun cuma satu dan dua mata pelajaran yang diajarkan. Mata pelajaran lain tdk diajarkan, tetapi setiap terima raport, semua mata pelajaran ada nilainya dalam buku raport.

Banyak anak usia SMP yang belum bisa kenal huruf, tidak bisa baca dan berhitung. Untuk mengatasi ketertinggalan pendidikan, banyak orang tua murid dari Kabupaten Nduga, mengirim anak-anaknya untuk sekolah ke kota Wamena, yang lebih maju pendidikannya.

Baca Juga: Diberondong 9 Peluru, Ini Kronologi Pesawat Trigana Air Ditembaki KKB Papua di Bandara Dekai, Proyektil Mengenai Kursi Penumpang

Egianus Kogoya juga dikirim orang tuanya untuk sekolah lanjut ke SMP di kota Wamena tahun 2011 pada saat usianya 12 tahun. Selama SMP di kota, Wamena, Egianus Kogoya sangat minder dan tertutup, karena mungkin dia belum bisa membaca dan berhitung dengan baik. Selain itu juga, ini karakter umum anak-anak Papua. Saya pun waktu kuliah ke Yogya, awal ke kampus pun ada perasaan minder dan sangat insecure.

Selama sekolah SMP di Wamena, Egianus memiliki satu perilaku yang menonjol dan menjadi perhatian guru-gurunya. Egianus akan ikut upacara bendera tapi tidak perna mau menyanyi lagu Indonesia Raya dan mengangkat tangannya untuk menghormati bendera merah putih.

Guru-gurunya sudah sering menegor dan menghukum Egianus. Disiplin hukuman tidak mengubah sikap dan perilaku Egianus. Bahkan kadang Egianus mendapat kata-kata kasar penuh hinaan dan merendahnya. Disinilah letak persoalan banyak guru-guru di Papua. Baik guru orang asli Papua maupun non orang asli Papua. Mereka tidak bisa menjaga mulutnya di depan siswa yang sulit diatur.

Kalau sewaktu bersekolah di SMP Wamena, Egianus bertemu dengan guru yang berkompeten dan memiliki hati membangun pendidikan di tanah Papua, saya pikir jalan hidup Egianus Kogoya bisa berubah lebih baik. Sangat disayangkan nasib banyak siswa-siswi orang asli Papua yang tidak bertemu dengan guru yang baik, penuh perhatian, memiliki hati yang tulus membangun pendidikan di Papua dan memiliki kompetensi yang sesuai kebutuhan siswa didiknya.

Kalau mau Papua damai, konflik berakhir, Pemerintah daerah di Papua, dari Provinsi sampai kabupaten dan kotamadya, harus wajib fokus membangun pendidikan yang baik dan berkualitas. Dukung pendanaan yang penuh untuk menunjang peningkatan kualitas para pendidik, baik guru dan dosen. Kalau bisa Provinsi Papua menjadi contoh dan teladan bagi Pemerintah Pusat di Jakarta dan Provinsi lain di Indonesia tentang bagaimana memberikan apresiasi dan penghargaan yang tinggi kepada para guru di tanah Papua. Minimal gaji atau honarium guru - guru di Papua sama dengan gaji atau honorarium guru di Malaysia dan Jepang.

Marinus Mesak Yaung

Dosen Universitas Cenderawash dan anak dari mama Yuliana Wambukomo ( Alm), seorang guru lulusan Sekolah Guru Ifar Gunung Sentani, dan mama saya perna mengajar dua sekolah langsung, SD YPK dan SDN di Pedalaman Papua tahun 1970an - 1980-an karena tempat tugasnya tidak ada guru lain.

Baca Juga: Lari dari Tugas Gondol Senjata TNI, Ini 5 Fakta soal Yotam Bugiangge, Sosoknya Gabung KKB Papua dan Jadi Dalang Penembakan di Yakuhimo

(*)

Tag

Editor : Candra Mega Sari

Sumber Facebook, Tribunnews.com, Tribun-Medan.com