Gridhot.ID - Lebaran hari raya Idul Fitri di tahun 2023 ini sudah di depan mata.
Dikutip Gridhot dari Serambinews, Muhammadiyah sudah menetapkan Idul Fitri 1444 Hijriah akan jatuh pada 21 April 2023.
Sementara itu, Nahdlatul Ulama masih menunggu pelaksanaan sidang isbat untuk menentukan pelaksanaan hari raya Idul Fitri.
Setiap Lebaran alias Idulfitri, masyarakat Indonesia mengenal Lebaran hari pertama dan hari kedua. Padahal 1 Syawal hanya jatuh satu hari saja. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Adalah Mohammad Roem, Wakil Perdana Menteri yang juga pernah menjabat Menteri Luar Negeri di era Orde Lama, mengisahkannya dalam sebuah tulisan ringan yang dimuat di Koran "Indonesia Raya" edisi Lebaran 1391 atau 1971 dan dihimpun dalam buku "Bunga Rampai dari Sejarah" jilid II (penerbit Bulan Bintang).
Dikutip Gridhot dari Kompas TV, dalam penuturannya, Mohammad Roem berkisah ketika masyarakat Indonesia mengenal penetapan puasa dan Lebaran lewat bunyi bedug di masjid dan surau tahun 1930-an. Belum ada sidang isbat seperti sekarang.
Penetapan puasa dan Lebaran kala itu, pun sudah mengenal perbedaan bahkan antar kampung yang bersebelahan. Namun tidak pernah ada keributan. Sistem rukyat dan hilal pun sudah digunakan sama seperti sekarang.
"Karena rukyat dan hisab itu dua-duanya diperbolehkan oleh agama. Maka tidak ada kekuasaan dunia yang dapat mengubahnya," katanya.
Bagi diplomat ulung ini, kenyataan itu sudah diterima di tengah masyarakat tanpa ada masalah sama sekali.
"Hanya kita yang bersalah memandang hal itu sebagai perpecahan," tambahnya.
Bahkan, katanya, pemerintah kolonial Belanda justru jauh lebih maju dalam memandang perbedaan Lebaran ini.
Baca Juga: 5 Zodiak Paling Baik Hati, Ada Taurus yang Dikenal Setia dan Tak Mudah Jatuh Cinta Menurut Astrologi
Roem memaparkan fakta yang dia alami sendiri, dulu pemerintah kolonial Belanda menetapkan setiap 1 Ramadan dan 1 Syawal sebagai hari libur.
Tapi libur 1 Ramadan kemudian dihapuskan dan diadakanlah libur Lebaran hari pertama dan hari kedua. Kebijakan Lebaran hari pertama dan hari kedua, yang dikenal seperti sekarang ini, diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memberi kesempatan libur bagi warga yang Lebarannya jatuh pada hari yang berbeda.
"Untuk menampung kemungkinan adanya Idulfitri yang tidak sama jatuhnya," kata Roem.
Roem juga membantah bahwa adanya perbedaan hari Lebaran itu sebagai perpecahan.
"Selama ini soal awal dan akhir puasa tiap tahun menjadi bahan tukar pikiran. Pada pokoknya berdialog itu baik, tapi jangan ingin mencapai sesuatu yang tidak mungkin," ujarnya.
Nah, kebijakan pemerintah kolonial Belanda itu, bagi Roem sangat bijaksana.
"Maka tiap golongan menurut pahamnya kebagian satu hari libur."
Kebijakan yang diberlakukan jauh sebelum Indonesia merdeka, sebelum Indonesia punya Kementerian Agama itu, dinilai sangat maju.
"Pengertian ini sudah dimiliki oleh pemerintah Hindia Belanda dulu," pungkasnya.
(*)