Gridhot.ID - Sikap tidak sopan mantan Gubernur Papua, Lukas Enembe di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, jadi hal memberatkan terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi itu.
Hal ini disampaikan ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh saat membacakan hal yang memberatkan dalam putusan vonis Lukas Enembe.
"Terdakwa bersikap tidak sopan dengan mengucapkan kata-kata tidak pantas dan makian dalam ruang persidangan," kata Hakim Pontoh dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Menurut hakim Rianto, perbuatan korupsi Lukas Enembe juga tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Namun demikian, ada juga hal-hal yang meringankan vonis terhadap Lukas Enembe. Salah satunya, Gubernur Papua dua periode ini belum pernah dihukum.
Selain itu, kemauan Lukas untuk sidang di Pengadilan dalam keadaan sakit juga meringankan putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim.
Dalam putusannya, hakim menyatakan Lukas dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap dan gratifikasi saat menjabat sebagai Gubernur Papua perioden2013-2022.
Hakim menilai Lukas terbukti melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Dalam perkara ini, Lukas dijatuhi hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider empat bulan penjara.
Selain itu, majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada Lukas selama 5 tahun.
"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipillih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," kata Hakim Pontoh.
Tidak hanya itu, hakim juga menghukum Lukas untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 19.690.793.900 paling lama dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Jika Lukas tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut.
"Apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi maka dipidana dengan pidana penjara selama dua tahun," ujar hakim.
Sementara itu, kuasa hukum Lukas, Petrus Bala Pattyona mengklaim putusan vonis 8 tahun penjara terhadap kliennya adalah sebuah kezaliman.
"Ini merupakan kedzaliman buat Pak Lukas, sangat tidak adil," kata Petrus dalam rilisnya yang diterima Tribun-Papua.com, Kamis sore.
Ia mengatakan, putusan hakim adalah tentang kepemilikan Hotel Angkasa yang dinyatakan hakim itu milik pengusaha Rijatono Lakka, dan bukan milik Lukas.
Karena selama ini KPK menuduh dan selalu menyiarkan bahwa Hotel Angkasa itu milik Lukas.
"Yang senada dengan pembelaan kami adalah tentang Hotel Angkasa. Itu benar punya Rijatono berdasarkan bukti sertifikat hak miliknya, apalagi Rijatono membeli tanak dari anaknya Gubernur Isak Hindom tahun 1999, sedang Pak Lukas menjadi Gubernur Papua tahun 2013," terang Petrus.
Ditambahkan kuasa hukum Lukas lainnya, Antonius Eko Nugroho, seharusnya hakim mempertimbangkan kondisi kesehatan Lukas yang menderita ginjal kronis, stroke empat kali dan jantung.
Adapun dalam perkara ini, Gubernur Papua dua periode itu dinilai terbukti menerima suap dengan total Rp 17,7 miliar dan gratifikasi senilai Rp 1,99 miliar.
Uang puluhan miliar itu diterima Lukas bersama dengan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua Kael Kambuaya dan eks Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Papua Gerius One Yoman.
Selain suap dan gratifikasi, Lukas dijerat kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Untuk kasus TPPU, saat ini sedang bergulir di tahap penyidikan di KPK.
Belakangan, KPK juga mengatakan bahwa Lukas akan dijerat dengan dugaan korupsi penyalahgunaan dana operasional Gubernur.
(*)