GridHot.ID - Erupsi Gunung Marapi di Sumatera Barat (Sumbar) mengalami erupsi pada Minggu (3/12/2023) sore. Menurut data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar, tercatat 75 pendaki yang terjebak.
Dari 75 pendaki tersebut, sebanyak 52 orang ditemukan selamat dan 23 orang meninggal dunia.
Salah satu pendaki yang selamat, Muhammad Fadli, mengurai ceritanya.
Dilansir dari Kompas.com, pria berusia 20 tahun ini mendaki Gunung Marapi bersama 17 rekannya pada Sabtu (2/12/2023).
Fadli mengatakan sama sekali tak punya firasat apa pun saat mendaki gunung Marapi.
"Kami naik hari Sabtu dan bersama-sama mendaki dan saling membantu dalam segala hal," katanya di RSUD Padang Panjang saat ditemui wartawan Halbert Caniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (4/12/2023).
Pada Minggu (3/12/2023) dini hari, Fadili bersama teman-temannya itu langsung menuju puncak untuk melihat matahari terbit.
Fadli sama sekali tak menyangka bahwa Gunung Marapi akan mengalami erupsi.
Saat gemuruh dari Gunung Marapi terdengar pada Minggu siang, Fadli sedang berda di sekitar puncak gunung dengan ketinggian 2.891 meter dari permukaan laut (Mdpl).
Seketika itu pula, Fadli langsung mencari tempat perlindungan di balik bebatuan cadas.
Fadli bersembunyi di sana bersama tiga teman lainnya.
"Saat mendengar gemuruh dan merasakan guncangan itu, saya langsung bersembunyi bersama tiga teman saya," kata Fadli.
Rupanya, suara gemuruh yang disertai guncangan itu hanya awal dari proses erupsi Gunung Marapi.
Saat bersembunyi di balik batu, Fadli melihat hujan batu berukuran kepalan tinju orang dewasa.
Fadli pun menepis batu yang mengarah kepadanya tersebut hingga jarinya patah.
"Saat salah satu batu menuju ke saya, saya menepisnya dengan tangan kosong yang mengakibatkan jari saya patah," katanya.
Batu selanjutnya kemudian mendarat di kaki kiri Fadli, yang membuat tulangnya patah.
Tak lama kemudian, asap hitam menyelimuti langit. Debu pekat juga memenuhi udara.
Hal tersebut jelas saja membuat Fadli kehilangan jarak pandangnya. Ia sama sekali tak bisa melihat sekitar, termasuk teman-temannya.
"Saat itu kami tetap bersembunyi di balik batu dan saya tidak mengetahui lagi tentang teman-teman saya yang lain," lanjutnya.
Batu yang beterbangan juga menghantam bagian kepala salah satu temannya sehingga hampir kehilangan kesadaran.
Di tengah situasi asap hitam dan debu disertai hujan batu, Fadli yang saat itu masih bersama tiga rekannya, perlahan-lahan bergerak turun.
Mereka berusaha menghindari awan panas.
"Kami terus mencoba bergerak ke arah bawah dengan terus mencari tempat bersembunyi di bebatuan," katanya.
"Saya mencoba bergeser ke bawah itu, untuk mencari jaringan (sinyal) untuk menghubungi pihak pos penjagaan dan meminta agar kami dijemput," lanjutnya.
Setelah mendapat beberapa batang sinyal di layar ponsel, Fadli langsung menghubungi pihak Basarnas dan menyampaikan situasi dan keadaannya.
"Pihak Basarnas meminta agar saya menunggu di sebuah pertigaan dan nanti katanya akan dijemput ke sana," lanjutnya.
Setelah menunggu kurang lebih delapan jam, akhirnya yang ditunggu pun sampai di tempat yang sudah dijanjikan untuk penjemputan.
"Saat tim evakuasi sampai di tempat itu, akhirnya saya bisa lega. Karena saya dan tiga teman saya akhirnya bisa selamat walaupun dalam keadaan luka-luka," lanjutnya.
Saat dievakuasi, Fadli mengalami luka patah tulang, beset, dan luka bakar di punggungnya.
Kondisi ini membuatnya harus digendong anggota tim penyelamat yang melakukan penjemputan. Tapi lukanya terasa perih, sehingga ia harus ditandu.
"Setelah tiga jam ditandu, akhirnya saya sampai ke pos evakuasi dan akhirnya saya bawa menggunakan ambulans ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) ini," lanjutnya.
(*)