Saat itu, katanya, perkara korupsi sudah berada di titik nadir.
Oleh karenanya, dirinya terdorong melakukan jejak pendapat terkait pidana potong tangan terhadap koruptor untuk kemudian diserahkan kepada Gubernur Aceh dan DPRA.
"Meunyoe broek eungkot jet taboh sira, tapi nyoe sira kabroek, peu yang akan taboh (jika ikan busuk bisa kita kasih garam, tapi jika garamnya sudah busuk apa yang akan kita bubuhkan)," ujarnya.
"Sekarang yang membuat hukum adalah DPR, tapi mereka yang banyak menjadi koruptor. Begitu juga dengan hakim, jaksa, dan polisi, termasuk pejabat dan kelompok partai politik," sambungnya.
Dia mengatakan, korupsi sulit akan dihilangkan jika negara masih memberlakukan aturan yang diciptaan oleh manusia.
Namun apabila hukum Tuhan diterapkan, maka perilaku korupsi akan hilang.
"Kalaupun kita lihat di Cina koruptor dihukum mati, itu karena kepanikan karena tidak ada dasar. Kalau kita ada dasar Surat Al Maidah ayat 38 yang menegaskan bahwa pencuri laki-laki dan pencuri perempuan dihukum dengan hukum potong tangan,” ungkapnya.
Dia berharap, dengan adanya hasil penelitian itu Pemerintah Aceh dan DPRA dapat menjajaki untuk merancang dan melahirkan qanun potong tangan bagi koruptor.
Menurutnya, Qanun Jinayah memang sudah ada di Aceh, tapi tak ada pidana potong tangan bagi koruptor di dalamnya.