Menurut bapak dari seorang puteri dan dua putera ini, kecelakaan penerbangan juga banyak dipengaruhi oleh kejiwaan. Penerbang yang sedang marah atau terbelit masalah bisa-bisa melakukan take off atau landing sembarangan.
Belum lagi menghadapi pengaruh ketinggian terhadap tubuhnya, karena semakin tinggi ia terbang, suhu udara makin dingin, tekanan dan oksigen udara pun menurun.
Bila perbedaan itu besar sekali penerbang bisa menderita bazotrauma (kerusakan telinga bagian tengah atau eustachian tube akibat perubahan tekanan udara dalam penerbangan) ataupun hipoksia (kekurangan oksigen di dalam jaringan).
Supaya tidak cenut-cenut
Apalagi kalau 'pasien' dokter penerbangan itu harus 'nunggang' pesawat tempur F-16 yang bisa mencapai ketinggian 50.000 kaki (± 15.240 m). Pada ketinggian itu, dia tidak hanya memperhitungkan adanya barotrauma dan hipoksia, tetapi kondisi gigi si pilot pun harus diperhatikan supaya tidak cenat-cenut di udara.
“Gigi yang kropos membahayakan si pilot, karena perbedaan tekanan pada ketinggian 5.000 kaki (± 1. 524 m) saja sudah menyebabkan rasa sakit. Apalagi di atas 10.000 kaki (± 3.048 m), tutur Raman yang ahli mata ini.
Dengan kecepatannya yang sangat tinggi, saat bermanuver penerbang F-16 akan mendapat G-force (gaya gravitasi bumi) sampai sebesar 9G. Artinya, berat badannya diperbesar 9 kali oleh gaya G tadi.
Padahal dalam keadaan sehat, manusia rata-rata hanya tahan sampai 8 G. Itu pun dalam waktu sangat singkat dan perlu latihan. Dengan terlewatinya batas ini, sang penerbang bisa mengalami G-LOC (Graviti Induced Loss of Consiousness) atau kehilangan kesadaran secara tiba-tiba dalam beberapa saat akibat ‘hilangnya’ darah dari otak.
Untuk mengatasinya, si pilot perlu mengenakan antiG-suit. Dengan baju ini, darah di dalam otak dapat ‘ditahan’ sehingga pilot terhindar dari pingsan maut.