Laporan Wartawan Gridhot, Desy Kurniasari
Gridhot.ID - Pandemi global virus corona masih terus menjadi momok di lebih dari 200 negara dan teritorial.
Berdasarkan data Worldometer, hingga Kamis (23/4/2020) virus ini telah menginfeksi lebih dari 2,6 juta penduduk di seluruh dunia.
Melansir Kompas.com, sebelumnya para peneliti yang berasal dari Universitas Cambridge, Inggris dan Jerman telah menganalisis 160 genom virus corona yang berasal dari manusia.
Genom ini diperoleh dari sampel di seluruh dunia yang didapatkan sejak 24 Desember 2019-4 Maret 2020.
Studi ini berhasil memetakan jaringan genetik virus corona yang menyebar dari China juga Asia, ke Australia, Eropa, dan Amerika Utara.
Dari hasil penelitian tersebut diketahui, saat ini terdapat 3 varian berbeda dari Covid-19.
Mereka menyebutnya sebagai 'A', 'B', dan 'C'.
Mutasi versi 'A' ini banyak ditemukan pada orang-orang Amerika yang pernah tinggal di Wuhan.
Para peneliti menyebut versi 'A' ini sebagai akar dari wabah virus corona yang menyebar saat ini.
Sementara itu, di Wuhan dan kawasan Asia Timur lainnya, jenis virus yang paling banyak ditemukan adalah jenis 'B'.
Baca Juga: Disentil Najwa Shihab Soal Ketidak Becusan Menteri Terawan, Jokowi: Ada yang Kecewa ya Wajar
Jenis ini berasal dari 'A' yang dipisahkan oleh dua mutasi.
Ahli genetika dari University of Cambridge Dr Peter Forster dan timnya menemukan Inggris sebagian besar dibombardir dengan kasus tipe B, dengan tiga perempat sampel pengujian sebagai strain itu.
Swiss, Jerman, Belgia dan Belanda juga didominasi oleh tipe B, sedangkan varian virus corona Covid-19 yang terakhir, yaitu virus 'C' merupakan anakan atau turunan dari tipe 'B'.
Paling banyak ditemukan pada pasien-pasien dari Eropa, seperti Perancis, Italia, Swedia, dan Inggris.
Sejumlah sampel dari Singapura, Hong Kong, dan Korea Selatan juga ada yang menunjukkan jenis 'C' ini.
Disebutkan, virus corona baru (SARS-CoV-2) bermutasi dan menciptakan turunan virus yang berbeda.
Virus 'B' secara imunologis mudah beradaptasi di kawasan Asia Timur, namun ia tidak bisa semudah itu untuk di kawasan lain, sehingga varian virus ini perlu bermutasi.
Proses mutasi di kawasan Asia Timur pun terpantau lebih lambat dibandingkan di kawasan lain.
Namun semua hasil penelitian ini diambil dari masa awal pandemi, saat jalur evolusi Covid-19 belum melakukan lebih bayak mutasi.
Para ilmuwan meyakini virus yang secara resmi disebut SARS-CoV-2 ini terus bermutasi untuk mengatasi resistensi sistem kekebalan pada populasi yang berbeda.
Dikutip dari Kontan.co.id, hasil studi baru di China menemukan bahwa virus corona telah bermutasi menjadi setidaknya 30 variasi berbeda.
Melansir Jerusalem Post, hasil penelitian menunjukkan bahwa pejabat medis sudah terlalu meremehkan kemampuan virus untuk bermutasi secara keseluruhan, yang pada akhirnya mengarah pada kesulitan potensial dalam menemukan penyembuhan secara keseluruhan.
Studi ini dilakukan oleh Profesor Li Lanjuan dan rekan-rekannya dari Universitas Zhejiang di Hangzhou, China dan diterbitkan dalam makalah non-peer-review yang dirilis di situs medRxiv.org pada hari Minggu.
Jerusalem Post memberitakan, tim riset Li menganalisis strain dari 11 pasien virus corona yang dipilih secara acak dari Hangzhou, di mana ada 1.264 kasus yang dilaporkan, dan kemudian menguji seberapa efisien mereka dapat menginfeksi dan membunuh sel.
Lebih dari 30 mutasi yang berbeda terdeteksi, dimana 19 di antaranya tidak ditemukan sebelumnya.
"Sars-CoV-2 telah memperoleh mutasi yang mampu secara substansial mengubah patogenisitasnya," tulis Li di koran.
Melansir South China Morning Post, tim riset juga menemukan bahwa beberapa mutasi dapat menyebabkan perubahan fungsional pada protein lonjakan virus.
Protein lonjakan adalah protein yang digunakan virus corona untuk menempelkan dirinya ke sel manusia.
Tim Li menginfeksi sel-sel dengan strain COVID-19 yang membawa mutasi berbeda, di mana strain yang paling agresif ditemukan menghasilkan sebanyak 270 kali lebih banyak viral load dibandingkan dengan strain yang paling lemah.
Strain agresif juga membunuh sel manusia paling cepat.
"Hasil menunjukkan bahwa keragaman sebenarnya dari strain virus sebagian besar masih kurang dihargai," tulis Li.
Studi ini dapat memiliki implikasi di masa depan pada pengobatan virus corona, karena beberapa strain berbeda telah ditemukan di seluruh dunia.
Amerika Serikat, yang memiliki angka kematian terburuk di dunia pada 42.897, dan 799.515 kasus secara keseluruhan, telah dilanda berbagai mutasi.
New York, yang memiliki tingkat kematian terburuk di AS, dan pantai timur menunjukkan jenis virus corona yang serupa dengan yang ditemukan di Eropa, sedangkan AS bagian barat telah menunjukkan kesamaan dengan jenis yang ditemukan di China.
"Pengembangan obat-obatan dan vaksin, meski mendesak, perlu memperhitungkan dampak akumulasi mutasi ini untuk menghindari jebakan potensial," kata para ilmuwan.
(*)
Source | : | Kompas.com,Kontan.co.id |
Penulis | : | Desy Kurniasari |
Editor | : | Dewi Lusmawati |
Komentar