"Tapi jangan berpikir saya tak punya rasa perikemanusiaan, karena menganggap eksekusi sebagai sesuatu yang begitu gampang dilakukan," tegas lelaki kelahiran tahun 1932 ini.
Singh mengaku, tugasnya menjadi jauh lebih berat, jika dia mengenal baik terpidana, atau sebelumnya telanjur membina persahabatan.
"Selain algojo, saya juga merangkap tukang cukur." ujar Singh tergelak. Saat mencukur rambut para narapidana itulah, acara ngobrol singkat kerap berkembang menjadi persahabatan.
"Berat, benar-benar berat rasanya. Karena tugas eksekusi tetap harus saya laksanakan," katanya dengan mimik serius.
"Sebagai manusia, kadang saya melihat mereka sebagai manusia yang baik. Saya menghormati dan berempati pada masalah mereka, meski pada akhirnya saya juga yang harus mengakhiri hidup mereka." Singh terlihat melankolis.
Karena hampir tidak mungkin berkegiatan yang menuntut sosialisasi dengan orang di luar tembok penjara, dunia gelap Singh memang terasa sempit.
Untuk mengurangi ketegangan atau mengalihkan kepedihan, Singh menyalurkannya pada keluarga dan sepakbola.
"Dia penggemar berat Klub Manchester United. Dia juga selalu menyempatkan diri nonton seluruh pertandingan Liga Inggris," cerita seorang teman dekatnya.
Sedangkan soal hukuman mati, Singh punya filosofi sendiri. "Hukuman mati itu proses rehabilitasi komplet. Mengirim mereka ke 'sana' adalah jalan terakhir dan terbaik. Saya juga percaya reinkamasi. Kelak, mereka akan dilahirkan kembali sebagai manusia yang lebih baik." sambung Singh, sambil membocorkan 'kalimat terakhir' yang selalu diucapkannya pada sahabat-sahabat terpidana matinya, "I am going to send you to a better place than this. God bless you."
Tak jelas, berapa banyak terpidana mati yang membalas, God bless you too, Mr. Singh.
Organ buat donor
Singapura termasuk negara yang sangat pede melaksanakan hukuman mati.
Amnesti Internasional pada 2004 melaporkan, sejak 1991 sampai saat laporan dibuat, tak kurang 420 orang digantung di negeri berpenduduk 4,2 juta jiwa ini.
Kebanyakan karena kasus obat bius. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya, jelas Singapura menjadi kota yang paling banyak menggantung manusia.
Hukum di Negeri Singa memang ketat. Siapa pun yang berusia 18 tahun ke atas dan kedapatan membawa narkoba di atas 15 g, bakal diancam hukuman mati.
Tapi mengapa hukuman gantung yang dipilih, bukannya hukuman tembak, suntik, atau kursi listrik?
"Jika dihukum gantung, sebagian besar organ penting terpidana tidak rusak, sehingga bisa didonorkan kepada orang yang lebih membutuhkan. Sebaliknya, kalau disuntik, ditembak, atau mati di kursi listrik, bisa dipastikan banyak organ penting yang rusak," Jawab Singh.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sama dengan Singapura, Indonesia pun masih memberlakukan hukuman mati.
Tapi eksekusi dilakukan tidak di tiang gantungan, melainkan di ruang tembak. Sekitar setahun lalu, Jaksa Agung Abdurrahman Saleh pernah mengusulkan agar hukuman mati di Indonesia dilaksanakan dengan hukuman gantung, meskipun dalam undang-undang disebutkan, terpidana mati harus ditembak.
"Saya pikir, ada cara lain yang lebih berperikemanusiaan," tegas Jaksa Agung. Sekadar catatan, sejak 1978 - 2004, Indonesia 'baru' mengeksekusi 38 terpidana mati.
Hukuman mati sendiri sudah dihapus di 106 negara, termasuk 30 negara yang menghapusnya sejak 1990.
Jika tren menghapus hukuman mati ini terus bersambut, bukan tidak mungkin rekor Singh akan menjadi rekor dunia abadi, khususnya di era masyarakat modem yang mengagungkan hukum positif.
Artikel ini telah tayang di Intisari dengan judul Kisah Para Algojo: Gara-gara Punya 'Profesi' Menggantung Orang, Istrinya pun Minggat dari Rumah.
(*)
Source | : | intisari |
Penulis | : | None |
Editor | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Komentar