Keesokan harinya, Pinangki bersama Rahmat menemui Djoko Tjandra di kantornya di The Exchange 106 di Kuala Lumpur.
Dalam pertemuan itu Pinangki memperkenalkan diri sebagai orang yang mampu mengurusi upaya hukum Djoko Tjandra. "Terdakwa memperkenalkan diri sebagai jaksa dan mengenalkan diri sebagai orang yang mampu mengurusi upaya hukum Joko Soegiarto Tjandra," kata jaksa.
Akan tetapi, Djoko Tjandra tak langsung percaya. Pembahasan soal perkara pun beralih ke arah pengajuan fatwa bebas ke Mahkamah Agung. Fatwa itu bertujuan agar Djoko Tjandra tak bisa dieksekusi jaksa.
JPU mengatakan, dalam proses tersebut Pinangki mengaku bisa mengurus fatwa tersebut dengan catatan Djoko Tjandra terlebih dahulu kembali ke Indonesia dan ditahan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Pinangki lantas membahas mekanisme memperoleh Fatwa MA. Rencananya, fatwa tersebut akan diusahakan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIV/2016 dengan argumen bahwa putusan PK nomor 12 tanggal 11 Juni 2009 kepada Djoko Tjandra tak bisa dieksekusi. Sebab, yang berhak mengajukan PK hanya terpidana atau keluarga, bukan jaksa.
"Djoko Soegiarto Tjandra sendiri tak langsung percaya karena merasa telah banyak pengacara hebat yang dicoba, tapi tidak bisa memasukkan kembali Djoko Tjandra ke Indonesia," kata JPU.
"Namun atas usul terdakwa untuk memperoleh Fatwa MA tersebut, Djoko Soegiarto Tjandra menyetujui termasuk biaya-biaya yang diusulkan oleh terdakwa untuk memperoleh Fatwa MA," kata JPU.
Pada 19 November 2019, Pinangki kembali melancong ke Malaysia bertemu Djoko Tjandra. Kali ini ia ditemani Rahmat dan Anita Kolopaking.
Source | : | Serambinews.com |
Penulis | : | Desy Kurniasari |
Editor | : | Dewi Lusmawati |
Komentar