Letaknya di Ujung Ekor Naga, Begini Dasyatnya Gunung Agung di Bali

Minggu, 13 Januari 2019 | 07:10
KOMPAS.com/BAMBANG P. JATMIKO

Gunung Agung difoto dari udara, beberapa waktu lalu.

GridHOT.id - Bukan naga dari darah daging, melainkan dari serangkaian gunung yang sebagian masih memuntahkan api dan menerbitkan gempa bumi.

Berikut ini tulisan tentang Gunung Agung di Bali yang mulai beraktivitas kembali, diambil dari Majalah Intisari edisi September 1963, dengan judul Gunung Agung di Ujung Ekor Naga yang Masih Liar.

Baca Juga : Duh, Polisi Ini Dipecat Karena Selain Soal Kode Etik Juga Mencuri Sapi Warga

Kepala naga itu letaknya di pegunungan Alpen di Eropa, di mana baru-baru ini kota Skoplye (Yugoslavia) hancur karena gempa bumi.

Lehernya di Turki dan Iran – juga dua wilayah yang beberapa waktu yagn lampau buminya bergerak.

Dan ekornya? Panjangnya tak kurang daripada 7.000 km. Mulai dari pegunungan Arakan Yoma di Burma, melalui kepulauan Andaman dan Nikobar, sampai di Sumatera, menjalar terus ke seluruh pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa dan pulau-pulau Nusa Tenggara lain dan kemudian memutar ke Maluku.

Di bagian ekor “naga” inilah terdapat bukti yang nyata bahwa bumi yang sudah berusia 3 miliar tahun itu masih bergerak, masih tumbuh, masih dalam evolusi.

Baca Juga : 5 Fakta Priscilla Kelly, Pegulat Wanita yang Nekat Sumpal Pembalut ke Mulut Lawannya Saat Bertanding

Malapetaka terhebat disebabkan oleh ledakan Gunung Tambora di Sumbawa (1815) hingga 92.000 manusia mati karenanya.

Dalam tahun 1883 meletuslah Krakatau sampai memakan lebih dari 36.000 korban. Dan dalam beberapa tahun terakhir ini bergolaklah Gunung Merapi di Jawa Tengah dan akhir-akhir ini Gunung Agung di Bali.

Di Timur terdapat lapisan-lapisan batu karang laut yang dahulu kala tentu terdapat dekat laut, tapi kini terangkat sampai setinggi 1.500 meter.

Dalam hal lain Indonesia mempunyai kedudukan luar biasa. Di sinilah terjadi pertemuan antara gunung-gunung yang paling muda usianya (hanya 800.000 tahun – muda bila dibandingkan dengan suia dunia tersebut di atas) dengan beberapa wakil dari umat manusia yang tertua seperti Homo mojokertensis yan gmungkin merupakan bentuk muda dari Pithecanthropus (usianya kira-kira 500 – 800.000 tahun).

Baca Juga : Tak Sudi Dinikahkan, Pengantin Wanita Menangis Histeris di Pelaminan

Semenjak tahun 1923 profesor Vening Meinesz, seorang sarjana geofisika bangsa Belanda, dengan menumpang kapal selam memeriksa daya tarik (gravitasi) bumi di perairan sepanjang Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara.

Ternyata di sebagian dari Samudera Indonesia itu daya tarik bumi jauh lebih kurang yaitu sepanjang suatu zona yang lebarnya lebih dari 100 km dan panjangnya kira-kira 8.000 km.

Zona ini terkenal kini sebagai zona Vening Meinesz.

Kemudian ternyatalah sesuatu yang menarik hati: Zona atau wilayah Vening Meinesz itu sebagian besar meliputi pegunungan di bawah laut yang masih muda usianya dan tidak bersifat vulkanis.

Gunung di bawah permukaan laut itu ialah pegunungan dalam pertumbuhan, yang kini pun masih bergerak ke atas, didorong oleh suatu tenaga untuk pelahan-lahan muncul dari laut.

Baca Juga : Akhirnya Mau Buka Suara, Ini Fakta-fakta Sang Mucikari Vanessa Angel di Balik Kasus Prostitusi Online yang Melibatkan Artis

Di wilayah Vening Meinesz dekat Sumatera sebagian dari pegunungan itu sudah timbul, yaitu berbentuk pulau-pulau Nias, Mentawai, Enggano, dll.

Tanpa imperilisme dan kolonialisme

Dapat diduga, bahwa suatu hari pun di sebelah selatan Jawa akan lahir beberapa pulau baru.

Alam akan memperluas wilayah Republik Indonesia. Tanpa imperialisme, kolonialisme atau anexasi.

Tenaga apakah gerakan melahirkan pulau-pulau baru itu?

Baca Juga : Cara Kamu Makan Ternyata Ungkap Kepribadian, Kamu Termasuk yang Mana?

Menurut teori profesor Vening Meinesz berkurangnya daya tarik bumi terkmaksud di atas disebabkan oleh tenaga yang menarik ke bawah sebagian dari kulit bumi itu, hingga menjadi semacam akar (root dalam bahasa Inggris).

Tenaga ini pula (subcrustal convection currents) yang mendorong pulau Nias, Mentawai, Enggano, ke atas, sampai timbul dari permukaan laut.

Pada saat sekarang teori profesor Vening Meinesz inilah yang paling umum diterima sebagai teori modern untuk menerangkan lahirnya gunung-gunung.

Tenaga ini juga yagn menyebabkan meletusnya Gunung Agung di Bali pada tanggal 19 Februari 1963.

Letusan ini masih belum apa-apa.

Tapi dalam hari-hari berikutnya tenaga yagn mendorong dari bawah itu makin lama makin kuat dan akhir Maret kawah Gunung Agung mengalah, dan memuncratlah lahar yaitu batu cair yang beribu-ribu Celcius panasnya.

Baca Juga : Gara-gara Tawon Ndas 7 Orang Meninggal, Ternyata Begini Sengatan Tawon Predator Dapat Membunuh Manusia

Hebatnya malapetaka Gunung Agung ini disebabkan karena Bali padat penduduknya, dan subur tanahnya.

Akan tetapi jangan pula dilupakan bahwa kesuburan tanah itu justru disebabkan oleh ledakan Gunung Agung di abad-abad yang lampau.

Abu yang disemprotkannya itu justru menyuburkan Bali seperti juga kesuburan Sumatera dan Jawa adalah karunia Tuhan melalui ledakan gunung apinya.

Berkat gunung api itulah maka Jawa dapat memberi makanan kepada penduduknya (lebih dari 400 jiwa di setiap km persegi: keadaan pada tahun 1930), sedangkan pulau Kalimantan yang tak mempunyai satu gunung api pun waktu itu hanya mempunyai penduduk 4 jiwa di setiap km persegi. (Berdasarkan tulisan Dr. Peter Stubbs “The Balinese ride on a dragon’s tail” dalam “New Scientist”, London.) (Intisari.grid.id/atharina Tatik)

Baca Juga : Lowongan Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ditutup 20 Januari 2019

Artikel ini sudah tayang di Intisari.grid.id dengan judul Gunung Agung di Ujung Ekor Naga yang Masih Liar

Tag

Editor : Rich

Sumber Intisari.grid.id