Find Us On Social Media :

Kisah Joe Arridy, Napi yang Malah Kegirangan Ketika Tahu Ia Dijatuhi Hukuman Mati

Joe Arridy, napi yang malah kegirangan ketika tahu ia dihukum mati.

Gridhot.ID - Setiap Narapidana (Napi) dan semua orang pastilah begidik mendengar hukuman mati.

Apalagi kalau sampai dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan.

Saban waktu sisa hidup terpidana hanya memikirkan eksekusi mati yang akan dilalui.

Namun berbeda dengan seorang narapidana bernama Joe Arridy.

Baca Juga: Ketika Soekarno Menjadi Target Pembunuhan Nekolim, Jika Gagal Indonesia Bakal Diserang

Ia amat kegirangan ketika dirinya dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan.

Mengutip allthatsinteresting.com, Rabu (19/6/2019) semuanya berawal pada 15 Agustus 1936, seorang ibu bernama Dorothy Drain di Pueblo, Colorado menemukan anak perempuan mereka yang berusia 15 tahun tewas bersimbah darah di rumah.

Gadis itu terbunuh dengan luka mengangan di bagian kepala.

Adik perempuannya, Barbara, juga dipukul kepalanya, meskipun secara ajaib dia selamat.

Baca Juga: Dua Bocah Kakak Beradik Tewas Membeku Didalam Kulkas yang Terkunci Saat Asik Main Petak Umpet

Serangan terhadap gadis-gadis muda membuat kota menjadi gempar, menyebabkan surat kabar setempat menyatakan bahwa seorang pembunuh yang gila seks sedang berkeliaran.

Polisi Colorado berada di bawah tekanan luar biasa untuk menangkap pembunuhnya.

Para saksi ditanyai dan pemimpin operasi penangkapan itu yakni Sheriff George Carroll sumringah ketika mendapati seorang pria bernama Joe Arridy yang berusia 21 tahun berkeliaran di kota tanpa tujuan, ia ditangkap lantaran cocok dengan ciri-ciri pembunuh yang dilontarkan oleh para saksi.

Joe lantas digelandang ke kantor polisi, dibawah tekanan ia diinterogasi dan dipaksa mengakui jika ia adalah pembunuh berantai yang menghabisi banyak nyawa perempuan muda di kota Pueblo.

Tampak Joe menjawab dengan seret dan terbata-bata bahkan cenderung tak fokus dengan apa yang dikatakannya.

Baca Juga: Ditagih Rakyat, Pemerintah Aceh Tengah Siap Ambil Alih Lahan Prabowo Subianto Untuk Penuhi Janji Kampanye

Orang tua Joe Arridy adalah imigran Suriah.

Dari pengakuan keluarga diketahui Joe hanya ber-IQ 46, cukup tolol baginya melakukan pembunuhan berencana.

Bahkan ia harus disekolahkan di Sekolah Pelatihan dan Rumah Negara Bagian Colorado untuk Cacat Mental di Grand Junction sejak usia 10 tahun.

Jangankan melakukan pembunuhan, Joe membedakan warna, berbicara secara benar dan membedakan mana batu mana telur saja tidak bisa.

Untuk umurnya yang sudah 21 tahun, sifat dan sikap Joe seperti bocah ingusan usia 6 tahun gegara keterbelakangan mental yang ia miliki.

Kepalang basah menangkap orang yang tak menjadi pelaku pembunuhan, polisi Colorado malah meneruskan perkara Joe.

Diberikan pertanyaan yang begitu tidak adil dan memaksa, kesaksian Joe Arridy berubah dengan cepat tergantung pada siapa yang menginterogasinya dan dia tetap tidak tahu tentang beberapa detail pembunuhan yang paling mendasar.

Sheriff George Carroll malah membuat Berita Acara Pemeriksaan palsu dengan memanipulasi fakta jika Joe memang pelaku pembunuhan berantai.

"Anda harus 'cungkil' semuanya dari dia? Jika kamu sangat menyukai perempuan, mengapa kamu menyakiti mereka?" ungkap Sherif Carroll di persidangan Joe.

Hakim di pengadilan lantas menyatakan Joe bersalah dan mengetok palu vonis hukuman mati kepada terdakwa.

Saat itulah Joe malah kegirangan bukan main, tak tahu jika dirinya bakal mati dan seakan malah hendak diberi permen.

Lantas pada 6 Januari 1939, Joe Arridy dibawa ke sebuah ruangan dan diikat ke sebuah kursi, ia hendak dieksekusi mati dengan racun gas syaraf.

Sebelum eksekusi dilakukan, Joe sempat memberikan kereta mainan kesayangannya kepada napi lain.

Melihat hal itu, Warden Best yang membacakan nota hukuman mati Joe menangis, ia tak bisa membayangkan orang yang seharusnya tak bersalah malah dihukum mati.

"Percayalah pada saya ketika saya mengatakan bahwa jika dia dibunuh dengan gas, akan membutuhkan waktu lama bagi negara bagian Colorado untuk hidup dalam aib," kata Warden.

Saat eksekusi dilakukan pun, terlihat wajah Joe yang menyeringai senang, tak tahu jika ajal telah menjemputnya.

Baru pada tahun 2011 silam Gubernur Colorado Bill Ritter memberi Joe Arridy pengampunan anumerta.

"Mengampuni Arridy tidak dapat membatalkan peristiwa tragis ini dalam sejarah Colorado," kata Ritter.

"Namun demi keadilan dan kesopanan yang sederhana, memulihkan nama baiknya," tambahnya. (Seto Aji/Gridhot.ID)