Find Us On Social Media :

Sosok Advenso Dollyres Chavit, Legenda Germo Paling Tersohor di Indonesia

Advenso Dollyres Chavit.

Gridhot.ID - Kawasan Dolly atau gang Dolly di Psar Kembang Durabaya dahulu amat terkenal karena hiburan malamnya.

Tempat yang sempat ditasbihkan sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara kini hanya meninggalkan cerita karena sudah ditutup.

Kini disana sudah menjadi kawasan ekonomi baru yakni menjadi kampung laundry.

Rupanya ada sejarah tersendiri bagaimana Dolly bisa berdiri.

Baca Juga: Bukan Anak SD Saja, Aksi Pasutri yang Perlihatkan Adegan Dewasa Juga Ditonton Oleh Anak Kandung Sendiri

Mengutip Intisari, Kamis (20/6/2019) pada tahun 1990an, di gang Dolly sempat terjadi protes.

Yang memprotes tentu ya Dolly sendiri.

"Kenapa kok (pakai) namaku? Padahal germo di sana kan banyak?" tanyanya.

Sosok Dolly sendiri sempat menjadi buah bibir masyarakat Surabaya kala itu karena ada yang menganggap jika ia hanya rekaan karena sulit sekali dijumpai.

Gang Dolly, berasal dari nama seseorang

Dolly sebenarnya adalah nama panggilan.

Nama lengkapnya Advenso Dollyres Chavit.

Chavit adalah nama ayahnya, seorang Filipina. Ibunya bernama Herliah, orang Jawa.

Dolly lahir sekitar tahun 1929.

Baca Juga: Seorang Bocah Meninggal dengan Jerigen Menempel di Hidungnya, Ternyata Ini yang Ia Alami!

"Aku ini hanya sekolah mindho (level SMP). Itu pun tidak tamat karena ada perang. Ibuku pun bukan orang yang mampu. Maka hidupku biasa-biasa saja, tidak ada peningkatan," tutur Dolly kepada Bambang Andrias, kontributor Majalah Jakarta-Jakarta, 27 tahun silam.

Dolly sendiri terlahir di keluarga yang cukup religius.

"Orangtua mendidikku untuk sering ke geraja. Pokoknya harus selalu ingat Tuhan," tambahnya.

Tapi entah sebab apa perangai Dolly menjadi tomboy dan pemberontak.

Ia pun mulai merokok di usia 16 tahun yang saat itu dianggap tabu.

"Umur 16 tahun aku mulai merokok. Waktu itu (rokok) yang terkenal Escort, Commodore atau Kansas," kenangnya.

Umur 20 tahun, Dolly lanyas menikah dengan seorang kelasi Belanda bernama Soukup alias Yakup dan dikaruniai seorang anak lelaki.

Namun ketika anak mereka menginjak usia 5 tahun, Yakup meninggal.

Tak ada yang menafkahi, Dolly dan anaknya mulai kesulitan ekonomi.

Bermodal tubuh seksinya, Dolly mulai memasuki dunia gemerlap, dunia prostitusi awal tahun 1950.

Kecantikan Dolly dan kefasihannya berbahasa Belanda membuat banyak laki-laki mencarinya.

Sekejap ia menjadi idola, khususnya bagi para eksptariat yang baru turun dari kapal.

"Aku ini cantik. Tubuhku tinggi-ramping. Banyak lelaki tergila-gila," jelas Dolly.

Baca Juga: Tertangkap Basah Tiduri Istri Orang, Diktator Pemakan Daging Manusia Ini Lari Ngacir dalam Keadaan Bugil

Ketika jasanya dipakai, ia biasanya melayani klien di Hotel Simpang atau LMS.

Namun ia tak mau meminta bayaran uang usai berkencan dengan kliennya.

"Aku ini pelacur kelas atas. Aku enggak pernah mau dibayar," jelasnya.

Kompensasinya adalah: ia hanya mau menerima berbagai barang mahal. Dalam istilah Dolly, "Aku cuma menerima 'kado'."

Banyak klien yang ingin menikahi Dolly, namun ia tak mau lantaran tidak ingin nanti anak semata wayangnya menerima perlakukan kasar dari ayah tiri.

Tahun 1960, Dolly hujrah ke Kembang Kuning di mana adalah kompleks pelacuran Surabaya.

Di sana ia diasuh oleh Tante Beng, muncikari tersohor pada saat itu selama delapan tahun.

Selama diasuh tersebut Dolly belajar ngegermo dari Tante Beng sembari mengumpulkan aset.

Tahun 1969 ia kemudian pindah ke Kupang Gunung.

Di sana Dolly membangun sebuah rumah di bekas lahan kuburan Cina.

Rumah yang ia bangun disebut 'wisma' alias rumah Bordil.

Dari satu wisma, berkembang hingga empat.

Ada Istana Remaja, Mamamia, Nirmala, lalu Wisma Tentrem.

Baca Juga: Ketika Soekarno Menjadi Target Pembunuhan Nekolim, Jika Gagal Indonesia Bakal Diserang

Setiap wisma menampung sekitar 28 pekerja seks komersial (PSK).

Menurut pengakuan Dolly, wisma-wisma itu dibangun tanpa bantuan pemborong maupun arsitek.

Dolly lah yang memandori pembangunan itu sesuai dengan apa yang ia pelajari dari orang tuanya.

Dari pelacur lantas menjadi germo, namun Dolly tak mau dianggap demikian.

"Aku memang mbangun bordil. Tetapi aku tidak mengelola sendiri. Habis mbangun tak sewakan," kisahnya.

"Aku tinggal mengambil uang sewa, wis, enak," tutur Dolly dalam percakapan yang hampir seluruhnya berlangsung dalam dialek Jawa Timuran.

Dolly sendiri awalnya memang tak suka menjadi germo.

Baca Juga: Kisah Joe Arridy, Napi yang Malah Kegirangan Ketika Tahu Ia Dijatuhi Hukuman Mati

"Aku iki nggak mentholo jadi germo. Keluargaku tidak ada yang turunan germo. Anake wong. Kasihan. Kalau jual 'daging' aku pengalaman. Tapi kalau disuruh jadi germo, aku tidak bisa," ujarnya.

Sepanjang tuturannya Dolly bilang ia tidak ingin jadi germo karena tahu bahwa menjadi pelacur itu sungguh tidak enak.

"Pelacur itu sakaken. Jadi pelacur itu kasihan. Pelacur itu sengsara di dunia. Aku nggak bisa cerita panjang tentang pelacur," tutur Dolly.

Dolly sendiri menilai profesi menjadi pelacur bukanlah dosa.

"Aku melihat pelacur itu macam-macam. Ada yang putus cinta, ada yang karena kesulitan ekonomi. Tetapi semua itu tidak dosa. Dia cari makan. Orang lakinya yang datang sendiri."

"Ya memang aku yang pertama kali membuka di sana. Tapi waktu mbangun aku bukan germo. Tak bangun lalu tak sewakan. Jadi aku bukan germo. Dan aku heran di Gang Dolly itu yang kaya malah jadi kaya dan enak-enak. Tapi yang jadi sasaran kok aku? Kok namanya jadi Gang Dolly?" katanya.

Sampai pada titik usahanya menjadi besar dan namanya malah diabadikan di gang Dolly yang sempat jadi lokalisasi terbesar di Asia Tenggara (*)