Tidak Pernah Puas Hingga Hidup Terkesan Penuh Derita, Manusia Ternyata Memiliki Otak yang Dirancang Untuk Terus Mencari Masalah

Kamis, 29 Agustus 2019 | 20:00
Pixabay

ilustrasi

Laporan Wartawan Gridhot.ID, Angriawan Cahyo Pawenang

Gridhot.ID - Manusia terkenal dengan kondisinya yang tak pernah puas.

Bukan hanya tentang keinginan, bahkan masalah dalam hidup terkesan selalu tiada habisnya.

Di saat kita telah berhasil menyelesaikan suatu masalah tertentu, makan kita sendiri akan terpikirkan masalah lainnya entah itu lebih besar atau kecil.

Baca Juga: Potret Terakhir Mendiang Serda Rikson Bersama Keluarga Sebelum Berangkat Tugas ke Papua, Ruang Tunggu Bandara Jadi Saksi Perpisahan Bersama Anak dan Istrinya

Dikutip Gridhot dari National Geographic, hal tersebut terjadi karena otak manusia memang dirancang untuk terus mencari masalah.

Otak kita akan berusaha untuk mendefinisi masalah meskipun kita baru saja menyelesaikan sebuah masalah.

Lalu bagaimana kita membedakan mendefinisikan masalah dengan menyelesaikan masalah?

Baca Juga: Kesaksian Juliana Mochtar yang Ada di TKP Saat Nikita Mirzani Labrak Pengacara Elza Syarief: Tidak Ada Settingan

Dikutip Gridhot dari The Conversation, para peneliti mencoba mencari tahu hal ini dengan cara mengumpulkan relawan.

Relawan yang sudah terkumpul kemudian diberi tugas sederhana untuk melihat beberapa wajah dan mereka harus memutuskan wajah mana yang membahayakan.

Wajah-wajah ini telah dirancang sedemikian rupa oleh para peneliti agar beragam dari yang terlihat sangat mengintimidasi sampai yang tidak berbahaya.

Baca Juga: Dilabrak Nikita Mirzani di Hadapan Hotman Paris, Elza Syarief Ternyata Bukan Sosok Sembarangan, Pernah Jadi Pengacara Pangeran Cendana Hingga Mendekam di Penjara

Begitu kami menunjukkan wajah-wajah yang semakin tidak menakutkan, kami menemukan bahwa sukarelawan melebarkan definisi mereka tentang apa itu wajah yang “menakutkan”.

Artinya, ketika para relawan sudah tidak menemukan wajah menakutkan, makan mereka akan mulai menyebut wajah yang tidak menakutkan sebagai wajah menakutkan.

Mereka bergantung pada seberapa banyak ancaman yang mereka lihat belakangan ini.

Baca Juga: Raup Untung Hingga Rp 10 Juta Per Korban, Buruh Bangunan Ngaku Titisan Nyi Roro Kidul Dibekuk Polisi, Dipercaya Bisa Ubah Beras Jadi Emas

Kejadian tidak konsisten ini akhirnya membuat para peneliti ingin mencoba objek lainnya.

Mereka kemudian mendapatkan objek lain yaitu diminta untuk membaca tentang beberapa stud ilmiah dengan isi yang berbeda.

Mereka harus memutuskan mana studi ilmiah yang dianggap etis ataupun tidak.

Baca Juga: Biasa Kumpul dengan Anak Jalanan, Nira Damayati Petugas Paskibraka Blora Hilang Selama 2 Minggu Sejak Bertugas Upacara Penurunan Bendera HUT RI 74 Lalu

Ternyata hasilnya sama, ketika para relawan ditunjukkan studi ilmiah yang etis mereka kemudian mendefinisikan ulang tentang 'etis' itu sendiri.

Dengan kata lain, hanya karena mereka membaca studi yang lebih etis, mereka menjadi semakin keras dalam menentukan mana saja studi yang termasuk etis.

Berdasarkan penelitian tersebut, riset psikologi kognitif dan ilmu saraf menyatakan kalau ini merupakan cara dasar otak manusia untuk memperoleh informasi.

Baca Juga: Kena Batunya, Koar-koar Indonesia Negara Miskin Saat Bahas Gojek akan Masuk Malaysia, Shamsubahrin Ajukan Permintaan Maaf Usai Situs dan Instagaramnya Diserbu Hujatan Netizen Indonesia

Kita selalu membandingkan apa yang ada di depan kita dengan konteks terkini.

Yang artinya kita akan selalu menemukan permasalahan dan akhirnya mendefinisikannya menjadi sebuah masalah baru meski aslinya hal tersebut bukan lah hal yang besar.

Ternyata, bagi otak kita, melakukan perbandingan secara relatif itu membutuhkan lebih sedikit energi dibandingkan dengan pengukuran secara absolut.

Baca Juga: Kini Dikabarkan Menikah Siri dengan Sesama Tahanan, Angelina Sondakh Masih Merasa Mendiang Adjie Massaid Selalu Menjaga Dirinya dan Anak-anaknya

Penilaian secara relatif memang bermanfaat terkadang, seperti kita mencari apakah makanan mahal di Solo sama dengan makanan mahal di Jakarta.

Namun akibat perbandingan tersebut kita jadi lebih sulit untuk menghargai sesuatu.

Kita tidak akan pernah menghargai kesuksesan kita sendiri dalam membantu mengurangi masalah yang dulu mereka cemaskan.

Baca Juga: Kesal Hutangnya Tak Segera Dilunasi, Seorang Pria Kirim Karangan Bunga di Resepsi Pernikahan Bertuliskan Kata-kata Tagihan: Bayar Hutang Dulu Sebelum Nikahi Anak Orang

Dari diagnosis kesehatan sampai investasi keuangan, manusia modern harus tetap konsisten saat membuat penilaian-penilaian yang rumit.

Pada dasarnya masalah tidak menghampiri kita, tapi memang otak kita sendiri yang mencerna informasi baru dan mendefinisikannya sebagai masalah.

(*)

Tag

Editor : Angriawan Cahyo Pawenang

Sumber national geographic, The Conversation