Laporan Wartawan Gridhot.ID, Angriawan Cahyo Pawenang
Gridhot.ID - Manusia terkenal dengan kondisinya yang tak pernah puas.
Bukan hanya tentang keinginan, bahkan masalah dalam hidup terkesan selalu tiada habisnya.
Di saat kita telah berhasil menyelesaikan suatu masalah tertentu, makan kita sendiri akan terpikirkan masalah lainnya entah itu lebih besar atau kecil.
Dikutip Gridhot dari National Geographic, hal tersebut terjadi karena otak manusia memang dirancang untuk terus mencari masalah.
Otak kita akan berusaha untuk mendefinisi masalah meskipun kita baru saja menyelesaikan sebuah masalah.
Lalu bagaimana kita membedakan mendefinisikan masalah dengan menyelesaikan masalah?
Dikutip Gridhot dari The Conversation, para peneliti mencoba mencari tahu hal ini dengan cara mengumpulkan relawan.
Relawan yang sudah terkumpul kemudian diberi tugas sederhana untuk melihat beberapa wajah dan mereka harus memutuskan wajah mana yang membahayakan.
Wajah-wajah ini telah dirancang sedemikian rupa oleh para peneliti agar beragam dari yang terlihat sangat mengintimidasi sampai yang tidak berbahaya.
Begitu kami menunjukkan wajah-wajah yang semakin tidak menakutkan, kami menemukan bahwa sukarelawan melebarkan definisi mereka tentang apa itu wajah yang “menakutkan”.
Artinya, ketika para relawan sudah tidak menemukan wajah menakutkan, makan mereka akan mulai menyebut wajah yang tidak menakutkan sebagai wajah menakutkan.
Mereka bergantung pada seberapa banyak ancaman yang mereka lihat belakangan ini.
Kejadian tidak konsisten ini akhirnya membuat para peneliti ingin mencoba objek lainnya.
Mereka kemudian mendapatkan objek lain yaitu diminta untuk membaca tentang beberapa stud ilmiah dengan isi yang berbeda.
Mereka harus memutuskan mana studi ilmiah yang dianggap etis ataupun tidak.
Ternyata hasilnya sama, ketika para relawan ditunjukkan studi ilmiah yang etis mereka kemudian mendefinisikan ulang tentang 'etis' itu sendiri.
Dengan kata lain, hanya karena mereka membaca studi yang lebih etis, mereka menjadi semakin keras dalam menentukan mana saja studi yang termasuk etis.
Berdasarkan penelitian tersebut, riset psikologi kognitif dan ilmu saraf menyatakan kalau ini merupakan cara dasar otak manusia untuk memperoleh informasi.
Kita selalu membandingkan apa yang ada di depan kita dengan konteks terkini.
Yang artinya kita akan selalu menemukan permasalahan dan akhirnya mendefinisikannya menjadi sebuah masalah baru meski aslinya hal tersebut bukan lah hal yang besar.
Ternyata, bagi otak kita, melakukan perbandingan secara relatif itu membutuhkan lebih sedikit energi dibandingkan dengan pengukuran secara absolut.
Penilaian secara relatif memang bermanfaat terkadang, seperti kita mencari apakah makanan mahal di Solo sama dengan makanan mahal di Jakarta.
Namun akibat perbandingan tersebut kita jadi lebih sulit untuk menghargai sesuatu.
Kita tidak akan pernah menghargai kesuksesan kita sendiri dalam membantu mengurangi masalah yang dulu mereka cemaskan.
Dari diagnosis kesehatan sampai investasi keuangan, manusia modern harus tetap konsisten saat membuat penilaian-penilaian yang rumit.
Pada dasarnya masalah tidak menghampiri kita, tapi memang otak kita sendiri yang mencerna informasi baru dan mendefinisikannya sebagai masalah.
(*)