Find Us On Social Media :

Bongkar Rahasia Hidup Saat Bersama Kedua Orangtuanya, Putra Sulung BJ Habibie Bocorkan Sang Ayah Tak Punya SIM Hingga Pulang Pergi Kerja Harus Dijemput Sang Istri, Hasri Ainun Besari

Keluarga BJ Habibie dan Ainun.

Laporan Wartawan Gridhot.ID, Candra Mega

Gridhot.ID - Meski telah tiada, sosok Presiden ketiga RI BJ Habibie akan selalu dikenang. 

Pasalnya, BJ Habibie dikenal jenius di bidang penerbangan hingga membuat Indonesia mendunia. 

Sosok BJ Habibie sendiri juga tidak bisa dipisahkan dari Jerman

Baca Juga: Bukan untuk Sang Putra Bungsu Thareq Kemal Habibie, BJ Habibie Sudah Daftarkan Donor Matanya Sejak 3 Tahun Lalu ke Lembaga Ini

Mengutip dari Grid.ID, Habibie muda pernah mengenyam pendidikan di Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachen, Jerman pada 1955 silam. 

Di sana Habibie mendalami teknik penerbangan dengan penjurusan konstruksi pesawat terbang.

Selepas kuliah dan mendapat pekerjaan, Habibie bersama sang istri, Hasri Ainun Besari serta kedua putranya Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie hidup di Jerman.

Baca Juga: Tak Kunjung Menyerahkan Diri Usai Terpantau Berada di Australia Bersama Suami, Polisi Akan Keluarkan Red Notice untuk Veronica Koman

Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 itu adalah seorang ayah dari dua anak dan suami yang kehilangan belahan jiwanya terlebih dahulu.

Melansir dari Fotokita.id, tulisan berikut ini diambil dari Buku Ibu di Mata Mereka, terbitan Intisari, yang ditulis oleh Yatie Asfan Lubis.

Inilah yang ditulis oleh Ilham Habibie dalam buku tersebut, mengenai ibunya, Hasri Ainun Habibie, yang ketika itu belum lama dipanggil Tuhan pada 22 Mei 2010.

Baca Juga: Diduga Netizen Jadi Penyebab Thareq Kemal Habibie Pakai Penutup Mata, Glukoma Ternyata Penyakit Penyabab Kebutaan Nomor 2 Setelah Katarak, Tak Bisa Sembuh dengan Operasi Semata

Berikut petikannya:

Bukannya aku ingin melontarkan puji dan puja, namun memang itulah makna dari namanya: Hasri Ainun Besari, mata yang indah.

Ibuku lahir di Semarang pada 11 Agustus 1937. Ayahku, H. Bacharuddin Jusuf Habibie (lahir di Pare-Pare 25 Juni 1936).

Baca Juga: 19 Tahun Jadi Ajudan Pribadi BJ Habibie, Aiptu Indra Beri Kesaksian Tabiat Sang Teknokrat, Meski Tak Lagi Muda Masih Asyik Diajak Kebut-kebutan

Pada tahun-tahun pertama pernikahan, mereka hidup di Jerman karena ayahku bekerja di sana.

Aku lahir di Aachen, Jerman, begitu pula adikku: Thareq Kemal Habibie. Sejak SD hingga aku meraih gelar Doktor - Ingenieur dengan predikat summa cum laude, (Juli 1994) aku tinggal di negeri itu.

Meski Ibu kerap berdialog dalam bahasa Indonesia, aku cenderung lebih menguasai bahasa Jerman dan Inggris.

Baca Juga: Mengabdi pada Negeri Seperti sang Mertua, Inilah Sosok Widya Leksmanawati, Dokter Gigi TNI AL yang Sukses Luluhkan Hati Putra Bungsu BJ Habibie

Karena memang aku tidak pernah mengecap sekolah di Tanah Air. Selama 31 tahun bermukim di sana dan di Amerika selama dua tahun.

Aku selalu teringat, betapa ibuku, yang seorang dokter lulusan Universitas Indonesia tahun 1965 rela melepas kariernya sebagai dokter anak.

Perempuan lemah lembut ini memilih tinggal di rumah untuk mengurus suami dan kedua putranya.

Baca Juga: Tak Bisa Beliau Terbangkan Hingga Akhir Hayat, Pesawat Impian Habibie, R80 Ternyata Masih dalam Proses Perakitan, Ini Sederet Fakta Kapal Terbang Kebanggaan Indonesia yang Tak Kalah Hebat Dibanding Boeing 777

Hidup di perantauan Eropa menimbulkan banyak risiko dan tanggung jawab. Kami tak punya pembantu.

Ibuku yang mungil rela mengerjakan semua tugas rumah tangga, hingga mengantar Ayah berangkat kerja. la yang punya SIM (ayahku tidak) laiknya seorang sopir pribadi.

Pagi mengantar ke dermaga ferry, malam pergi lagi menjemput.

Baca Juga: Tak Bisa Beliau Terbangkan Hingga Akhir Hayat, Pesawat Impian Habibie, R80 Ternyata Masih dalam Proses Perakitan, Ini Sederet Fakta Kapal Terbang Kebanggaan Indonesia yang Tak Kalah Hebat Dibanding Boeing 777

Ibuku amat mandiri. la juga menularkan sikap itu pada kami berdua. Aku dan adikku diajar tidak canggung mengerjakan tugas seorang perempuan.

Mencuci, menyetrika, memasak, dan menjahit bukan hal yang sulit bagi kami. Waktu kami tinggal di Jerman, sementara Ibu harus mendampingi Ayah yang bertugas di Indonesia, kami menikmati "kemandirian yang terlatih" olehnya.

(*)